Selasa, 25 Desember 2012

Demokrasi Dilihat dari berapa aspek

Demokrasi
Kebaikan Bersama
Identitas bersama
Hubungan Kekuasaan
Legitimasi Kewenangan
Hubungan Ekonomi Politik

Persamaan kesempatan politik dan hokum
Bhenika tunggal Ika
Kekuasaan yang relatif merata
Bersifat prosudial kekuasaan atau Rule Of Law
Pemerintah  dan Swasta Ikut mengambil bagian aktif dalam kehidupan bernegara
Pembahasan
Jadi di dalam pemerintahan demokrasi mempunyai kesempatan berpolitik dan mempunyai kesamaan terhadap hokum yang ada di Indonesia
Identitas Negara dalam pemerintahan demokrasi ialah bhenika tunggal Ika. Yaitu kebersamaan berbeda beda tapi tetap satu juga.
Dalam negara-negara demokratis hubungan kekuasaan antara badan-badan legislative, eksekutif dan yudikatif adalah berbeda-beda . satu hal yang menjadi cirri umum, bahwa ketiga fungsi itu biasanya dipegang oleh tiga organ yang berbeda. Sesuai dengan ajaran MONTESQUIEU yang membedakan adanya tiga jenis
Bersifat Rule Of Law yang artinya hukum diatas semua orang dan itu berlaku bagi semua orang. Apakah gubernur atau diatur, apakah penguasa atau dikuasai, tidak ada yang diatas hukum, tidak ada yang dibebaskan dari hukum, dan tidak ada yang dapat memberikan dispensasi untuk penerapan hukum.
Di dalam Negara Demokrasi peran pemerintah dan swasta ini seimbang, tetapi pihak swasta tetap tidak lepas dari pengawasan pemerintah dalam menjalankan perusahaannya.

Senin, 17 Desember 2012

Model Sistem Politik


Model-model Sistem politik02MAR2012Tinggalkan Sebuah Komentar 
Setiap Negara mempunyai sistem politik yang berbeda-beda antara Negara satu dengan yang lainnya, hal ini dipengaruhi oleh sejarah, lingkungan dan atau kultur serta Ideologi yang digunakan oleh negaratersebut. Beberapa model-model sistem politik ditinjau dari sudut historis dan perkembangan sistem politik, dimulai Otokrasi Tradisisonal ke Totaliter  dan sampai ke Demokrasi  (Ramlan Surbakti)
1. Sistem politik Otokrasi Tradisional
Sistem politik menekankan pada nilai-nilai moral dari kebutuhan materil, menekankan kekerabatan dari pada individualisme, menekanakan ikatan primordial seperti ikatan keturunan, ikatan sukubangsa atau agama yang terwujud dalam diri seorang pemimpin yang dominan ( Otokrat ), stratifikasi ekonomi sekamin tinggi ekonominya semakin tinggi kekuasaannya. contoh pemimpinmya biasanya sultan, raja atau kaisar yang dijadikan identitas bersama dalam sistem ini. Kekuasaanya lebih bersifat pribadi, berada di sekitar otokrat tersebut, seperti kaum bangsawan, tuantanah & alim ulama, kelompok sosial modern seperti kelompok kepentingan, partai politik media massa belum berkembang, para petani tidak ikut kegiatan politik karena mskin, buta huruf, terikat tradisi dan dikuasai tuan tanah sedangkan tuan tanah sebagai kaki tangan otokrat. Kewenangan otokrat bersumber dan berdasarkan tradisi atau warisan orang tuanya yang mungkin pernah memegang otokrat atau kerabat otokrat.
2. Sistem politik Totaliter
Sistem ini sangat menekankan konsessus total di dalam masyarakat dan menimbulkan konflik didalam maupun di luar negeri. Namun untuk mencapai itu semua bukan hanya dengan IndoktrinasiIdeologi tetapi juga dengan cara paksaan yang luas dan mendalam. Sistem ini terdapat dalam Sistem Politik Komunisme dan Sistem politik Fasisme.
 3. Sistem Politik Demokrasi
Sistem ini sistem politik yang menghendaki keseimbangan antara konflik dan konsessus artinya demokrasi yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan diantara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah selama tidak menganggu sistem

Jumat, 14 Desember 2012

resume sosiologi tanggal 14 desember 2012


Norma setelah mengalami suatu proses akan menjadi gagasan dari lembaga kemasyarakatan

Lembaga kemasyarakatan adalah cara cara tata kelakuan hokum hokum yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang mempunyai norma atau aturan yang dapat mengikat masyarakat


Norma setelah mengalami proses                   menjadi gagasan dari lembaga kemasyarakatan


Institutiona liziation                  harus Dikenal, Diakui, Dihargai, dan ditaati                  Interalized.

Norma Setelah mengalami proses maka dia menjadi  bagian dari gagasan dari lembaga kemasyarakatan karena manjadi bagian dari kemasyarakatan maka ia menjadi menginstitusi masyarakat dan norma itu harus dikenal diakui dihargai dan ditaati dan jika semuanya it bias menjadi darah daging ( internalized ).
Fungsi lembaga institusi social
1.       Memberikan pedoman kepada masyarakat cara bertingkah laku dan bersikap.
2.       Menjaga keutuhan masyarakat
3.       Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial

Kamis, 06 Desember 2012

Perubahan sosial

Perubahan-perubahan yang terjadi di dunia ini memang telah berlangsung sejak dahulu kala, hanya saja pada jaman sekarang perubahan-perubahan tersebut telah berjalan dengan sangat cepat. Bahkanberkat adanya kemajuan yang begitu pesat di bidang teknologi informasidan komunikasi, maka pengaruh-pengaruhnyapun telah menjalar secara cepat ke bagian-bagian dunia lainnya. Lalu seperti apakah terjadinyaperubahan-perubahan sosial itu? Bagaimana contohnya?
Tipe atau Jenis-Jenis Perubahan Sosial Beserta Contoh Perubahan Sosial
Tugas manusia untuk mengusahakan bagaimana agar perubahan- perubahan tersebut mengarah pada kemajuan, dan sebaliknya mencegahsetiap perubahan yang menuju ke arah kemunduran. Perubahan sosialyang mengarah pada kemajuan itu misalnya adanya pembangunan danmodernisasi. 

Ditinjau dari aspek historis, terjadinya perubahan sosial adalah suatu proses yang akan berlangsung terus sepanjang kehidupan manusia. Sementara ditinjau dari aspek bentuknya, terjadinya perubahan sosial itu akan meliputi: 
  1. Perubahan sosial yang berlangsung secara lambat (evolusi) dan Perubahan sosial yang berlangsung secara cepat (revolusi);
  2. Perubahan sosial yang berlangsung dengan skala kecil dan Perubahan sosial yang berlangsung dengan skala besar;
  3. Perubahan sosial yang berlangsung karena dikehendaki atau direncanakan dan Perubahan social yang berlangsung karena tidak dikehendaki atau tidak direncanakan.

Berbagai bentuk perubahan sosial tersebut, beserta beragam contohnya akan dijelaskan pada uraian berikut ini.

Perubahan Lambat (Evolusi) dan Perubahan Cepat (Revolusi)

Proses terjadinya perubahan sosial dapat berlangsung secara lambat dan dapat pula berlangsung secara cepat. Jika perubahan sosial ituberlangsung secara lambat dan memerlukan waktu yang lama, di dalamnyajuga terdapat serentetan perubahan-perubahan kecil yang saling mengikuti secara lambat, maka perubahan semacam itu dinamakan evolusi. Perubahansecara evolusi biasanya terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencanaataupun suatu kehendak tertentu. Perubahan-perubahan semacam iniberlangsung karena adanya upaya-upaya masyarakat untuk menyesuaikandiri dengan keperluan-keperluan,keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru yang timbul sejalandengan pertumbuhan masyarakat.

Suatu revolusi dapat pula berlangsung dengan didahului oleh suatu pemberontakan (rebellion), yang kemudian menjelma menjadi revolusi. Terjadinya pemberontakan para petani di Banten pada tahun 1888 misalnya, telah didahului dengan suatu tindak kekerasan sebelum akhirnya menjadi suatu revolusi yang mampu merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat di daerah tersebut.

Perubahan Kecil dan Perubahan Besar

Suatu perubahan dikatakan kecil apabila perubahan itu tidak sampai membawa pengaruh yang langsung atau berarti bagi masyarakat, sedangkan sebaliknya, suatu perubahan dikatakan besar apabila perubahan-perubahan tersebut mampu membawa pengaruh yang besar bagi masyarakat (khususnya lembaga-lembaga kemasyarakatannya). Suatu perubahan dalam mode pakaian, gaya rambut, dan model aksesoris misalnya, tidak akan membawa pengaruh yang berarti bagi masyarakat dalam keseluruhannya, oleh karena tidak mengakibatkan perubahan- perubahan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Namun sebaliknya, suatu proses industrialisasi pada masyarakat yang agraris misalnya, merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh yang besar pada masyarakat yang
bersangkutan. Dalam proses tersebut (industrialisasi), diperkirakan berbagai lembaga-lembaga kemasyarakatan akan terpengaruh olehnya, seperti misalnya hubungan kerja, sistem milik tanah, hubungan-hubungan kekeluargaan, stratifikasi sosial, dan sebagainya. Dengan demikian terjadinya proses industrialisasi pada masyarakat yang masih agraris merupakan suatu perubahan sosial yang besar bagi masyarakat yang bersangkutan.

Perubahan yang Dikehendaki (direncanakan) dan Perubahan yang Tidak Dikehendaki (tidak direncanakan).

Perubahan sosial dapat berlangsung karena dikehendaki atau direncanakan (intended change), dan dapat pula tidak dikehendaki atau tanpa suatu perencanaan (unintended change). Walaupun suatu perubahan sosial telah direncanakan ke arah suatu tujuan yang hendak dicapai, namun perubahan yang terjadi tidak selamanya berhasil seperti yang dikehendaki. Oleh karena itu, keberhasilan suatu perubahan sosial yang direncanakan akan banyak bergantung kepada kemampuan rekayasa sosial yang dilakukan oleh para perencana sosialnya. 

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan (telah direncanakan) terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki suatu perubahan biasanya menyebut para perencana sosial, yakni seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dengan demikian, dalam konteks perubahan yang dikehendaki maka pada perencana sosial inilah yang akan memimpin masyarakat dalam merubah sistem sosialnya. 

Dalam melaksanakan tugasnya, langsung terjun langsung untuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Selain itu, suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan dari perencanaan sosial tersebut. Dalam ilmu sosiologi, cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu sebagaimana dijelaskan di atas, dinamakan social planning (perencanaan sosial) atau sering dinamakan pula dengan istilah social engineering (perekayasaan sosial).

Sedangkan perubahan yang tidak dikehendaki (meskipun telah diperhitungkan sebelumnya oleh para pelopor perubahan), dan yang merupakan akibat dari perubahan-perubahan yang dikehendaki, misalnya saja hilangnya wewenang para petugas pamong praja di dalam pemerintahan desa, bertambah pentingnya peranan dukuh yang menyebabkan berkurangnya ikatan antara kekuatan sosial yang merupakan masyarakat desa, serta secara berangsur-angsur, hilangnya peranan kaum bangsawan sebagai warga kelas sosial yang tinggi dalam masyarakat. 

Suatu perubahan yang dikehendaki dapat timbul sebagai suatu reaksi (yang direncanakan) pada perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi sebelumnya, baik yang merupakan perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Dalam hal terjadinya perubahan-perubahan yang dikehendaki, maka perubahan-perubahan yang kemudian muncul merupakan perkembangan lebih lanjut dari proses perubahan sebelumnya. Sedangkan bila sebelumnya terjadi perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki, maka perubahan yang dikehendaki dapat ditafsirkan sebagai suatu pengakuan terhadap perubahan-perubahan sebelumnya, agar kemudian diterima secara luas oleh masyarakat. 

Dalam perkembangan selanjutnya, perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki oleh adapt itupun akhirnya diakui dan dilegal-kan (dikuatkan) oleh pengadilan, yakni sebagaimana dapat dilihat dari keputusan-keputusannya di seputar hukum adat waris. Bahkan di tingkat pemerintahan pusat (negara), keadaan tersebut kemudian disyahkan oleh Ketetapan MPRS Nomor 2 Tahun 1960, yang antara lain menegaskan bahwa semua warisan adalah untuk anak-anak (tanpa membedakan antara anak laki-laki atau perempuan) dan juga janda.

Senin, 03 Desember 2012

Fungsi Pemerintahan


A. Peran PemerintahSecara umum tingkat penerapan desentralisasi suatu negara mendasari cara negara (pemerintah) dalam mendefinisikan perannya dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya.  Apakah negara harus terlibat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, ataukah negara hanya melibatkan diri sebatas pada bidang-bidang diluar kemampuan masyarakat? Apakah segala urusan harus dikendalikan pemerintah pusat, atau sejauh mungkin dilaksanakan oleh pemerintah lokal, kecuali hal-hal fundamental yang menyangkut kepentingan umum masyarakat negara? Hal-hal tersebut merupakan persoalan-persoalan yang signifikan.Antara Pemerintah dan Swasta. Perbedaan cara pandang pelaksanaan fungsi pemerintah itu digambarkan oleh Pratikno, dari perspektif liberal dan perpektif sosialis. Dari perspektif pertama bahwa negara tidak perlu melakukan campur tangan dalam penyediaan pelayanan masyarakat, sementara dari perspektif terakhir diyakini bahwa kehadiran itu mutlak diperlukan. Dalam perspektif liberal, kehadiran pemerintah hanya diperlukan untuk menjaga keamanan. Fungsi utama pemerintah hanyalah kepolisian sementara fungsi-fungsi lainnya menjadi wewenang masyarakat, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun pengusaha swasta. Perspektif ini membatasi fungsi pemerintahan sebagai fungsi “sisa” yaitu fungsi-fungsi penyediaan barang dan jasa yang tidak bisa disediakan oleh unit tingkat bawahnya atau pihak-pihak di luar pemerintah. Artinya pemenuhan kebutuhan hidup diawali dari tanggungjawab individu, naik ke tingkat kelompok atau unit sosial yang kecil,  pemerintah lokal yang paling rendah selanjutnya bergulir ke atas. Besarnya keterlibatan pemerintah dalam pelayanan publik dianggap mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, kesempurnaan mekanisme pasar yang dipercaya akan mampu mencapai efisiensi, akan terganggu. Kedua, dianggap  memperkecil kebebasan individu dan kelompok-kelompok masyarakat untuk menentukan kepentingan dan pilihannya sendiri,   pada akhirnya dianggap  membahayakan demokrasi.Sedangkan perspektif sosialis menganggap bahwa penetrasi pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa keperluan individu dan masyarakat mutlak dibutuhkan. Bagi mereka mekanisme pasar tidak bisa diandalkan menjamin tercapainya efisiensi. Mereka berasumsi bahwa persaingan  bebas dalam mekanisme pasar meciptakan ketimpangan distribusi kesejahteraan, sebab kemampuan setiap orang untuk bersaing berbeda-beda. Akibatnya mereka yang kuat memenangkan persaingan dan akan memunculkan kemungkinan terjadinya praktek eksploitasi. (dalam Haryanto, dkk, 1997 : 41-43).Terlepas dari perdebatan tersebut, dalam pelaksanaan fungsi pencapaian tujuan negara yang pada dasarnya pelayanan (dalam arti luas) kepada masyarakat, peran pemerintah sangat diperlukan, apalagi di dalam masyarakat yang modern.Antara Pusat dan Daerah. Perbedaan cara pandang dari dua perspektif sebagaimana tersebut di atas mempunyai implikasi yang cukup luas terhadap keberadaan pemerintahan daerah. Hal itu menyangkut persoalan desain kebijakan pemerintahan daerah sehingga diharapkan mampu mentransformasikan fungsi-fungsi sesuai cara pandang suatu rezim. Logika itu dapat dipahami dengan dukungan realitas yang ada bahwa pemerintah daerah merupakan sub-komponen geografis dari suatu negara berdaulat, sehingga ia berfungsi memberikan pelayanan umum pada suatu wilayah tertentu (S.H. Sarundajang, 2001 : 25) Secara operasional refleksi perbedaan itu teraplikasi dalam prinsip pengorganisasian pemerintahan daerah yang bernuansa administratif atau politis.  Secara empiris model-model pemerintahan daerah ala Rusia dan pemeritahan daerah model Inggris dapat dipandang sebagai reprensentasi keadaan tersebut.Dalam sistem pemerintahan model Rusia, semua lembaga pemerintahan daerah merupakan bagian integral dari birokrasi pemerinahan nasional, peraturan di setiap tingkat didominasi oleh kebijakan partai tungal. Sedangkan pemerintahan daerah model Inggris, mempunyai karakteristik otonomii yang besar, semua kekuatan bertumpu pada dewan, menggunakan komite secara luas (S.H. Sarundajang, 2001 : 39). Pemerintahan daerah model Rusia sangat bernuansa administratif, berdasar prinsip-prinsip pencapaian fungsi secara efektif dan efisien dengan mengesampingkan nilai-nilai demokratis. Sementara pemerintahan daerah model Inggris sangat bernuansa politis, sangat memperhatikan nilai-nilai demokratis, sehingga pemerintahan daerah di desain untuk keseimbangan keinginan negara dan masyarakat lokal.B. Fungsi PemerintahanMenurut Ryaas Rasyid, tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah menjaga  ketertiban dalam kehidupan  masyarakat sehingga setiap warga dapat menjalani kehidupan secara tenang, tenteram dan damai. Pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, pemerintahan tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri. Pemerintah dituntut mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap orang dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama (dalam  Haryanto dkk, 1997 : 73).Secara umum fungsi pemerintahan mencakup tiga fungsi pokok yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (H. Nurul Aini dalam  Haryanto dkk, 1997 : 36-37).
  • Fungsi Pengaturan.
Fungsi ini dilaksanakan pemerintah dengan membuat peraturan perundang-undangan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Pemerintah adalah pihak yang mampu menerapkan peraturan agar kehidupan dapat berjalan secara baik dan dinamis. Seperti halnya fungsi pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mempunyai fungsi pengaturan terhadap masyarakat yang ada di daerahnya. Perbedaannya, yang diatur oleh Pemerintah Daerah lebih khusus, yaitu urusan yang telah diserahkan kepada Daerah. Untuk mengatur urusan tersebut diperlukan Peraturan Daerah yang dibuat bersama antara DPRD dengan eksekutif.
  • Fungsi Pelayanan.
Perbedaan pelaksanaan fungsi pelayanan yang dilakukan Pemerintah  Pusat dan Pemerintah Daerah terletak pada kewenangan masing-masing. Kewenangan pemerintah pusat mencakup urusan Pertahanan Keamanan, Agama, Hubungan luar negeri, Moneter dan Peradilan. Secara umum pelayanan pemerintah mencakup pelayanan publik (Public service) dan pelayanan sipil (Civil service) yang menghargai kesetaraan.
  • Fungsi Pemberdayaan.
Fungsi ini untuk mendukung terselenggaranya otonomi daerah, fungsi ini menuntut   pemberdayaan Pemerintah Daerah dengan  kewenangan  yang cukup dalam pengelolaan sumber daya daerah guna melaksanakan berbagai urusan yang didesentralisasikan. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu meningkatkan peranserta masyarakat dan swasta dalam kegiatan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan pemerintah, pusat dan daerah, diarahkan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi masyarakat, yang pada jangka panjang dapat menunjang pendanaan Pemerintah Daerah. Dalam fungsi ini pemerintah harus memberikan ruang yang cukup bagi aktifitas mandiri masyarakat, sehingga dengan demikian partisipasi masyarakat di Daerah dapat ditingkatkan. Lebih-lebih apabila kepentingan masyarakat diperhatikan, baik dalam peraturan maupun dalam tindakan nyata pemerintah.

Trapesium Diskusi

hasil diskusi kamis 29/11/12:
korupsi bukan budaya diindonesia melainkan telah membudaya. seperti kebiasaan yang diulang-ulang, kebiasaan sehari-hari yang keluar dari norma dimasyarakat. korupsi terjadi karena ada niat dan sistem yang rumit. ada 4 penghilang korupsi yaitu: 1. aparatur, 2. prosedur, 3. kultur, dan 4.struktur.
penyebab terjadinya korupsi: 
1. kesempatan, 2. niat, 3. kesadaran diri, 4. kurangnya transparasi, 5. faktor lingkungan, 6. sistem, 7. kelemahan pengawasan, 8. kepentingan, dan 9. ketidakadilan.
cara pemberantasan korupsi:
1. ketegasan hukum, 2. komitmen, dan 3. konsistensi.

cara mendapatkan Nilai A pada nilai kuliah


3 Tips dan cara Mendapatkan Nilai 4 pada setiap mata kuliah

Tips dan Cara mendapatkan nilai 4 pada setiap mata kuliah – Nilai mata akhir pada mata kuliah berbeda dengan nilai yang diberikan saat masih SMA. Dimana pada mahasiswa mereka biasanya diberikan rentang nilai antar 1-4 pada setiap akhir mata kuliah sang dosen. Beberapa mahasiswa baru biasanya bingung dengan sistem pemberian nilai, pada saat melihat nilai hasil ujian akhir kok cuman dapat 4 atau 3 ? Padahal angka 4 itu adalah nilai tertinggi pencapaian mahasiswa.
Pada dasarnya ada 3 jenis mahasiswa mengenai nilai , yakni ada mahasiswa yang sangat mengejar nilai tinggi tanpa memikirkan kualitas ilmu di dalam dirinya , ada juga mahasiswa yang mengejar kualitas ilmunya tanpa peduli berapa pun nilai yang nantinya akan diberikan oleh dosen, dan yang ketiga ada juga mahasiswa yang mengejar kedua-duanya.
Hal yang dapat membuat stres mahasiswa biasanya adalah karena terkadang nilai tak sesuai dengan pekerjaan selama ini, biasanya mahasiswa sudah belajar mati-matian tetapi tetap dapat nilai rendah. Sebaliknya ada beberapa mahasiswa yang terlihat santai tetapi justru mendapatkan nilai yang tinggi. Sangat menyakitkan bukan? apa rahasianya? dalam hal ini dosen tidaklah salah, tetapi beberapa mahasiswa belum memahami bagaimana mendapatkan nilai yang bagus pada setiap mata kuliah. Sebagai mahasiswa yang telah lama yakni 3 tahun saya akan berikan tips mendapatkan nilai yang baik terutama buat mahasiswa baru.
ipk 4
ilustrasi : edukasi.kompasiana.com
Tips dan cara mendapatkan nilai 4 pada setiap mata kuliah
1. Rajin bertanya
Dosen menyukai mahasiswa yang rajin bertanya. Biasanya dosen memberikan nilai tambah pada mahasiswa yang rajin bertanya pada mata kuliah. Tentu saja bukan pertanyaan yang asal-asalan. Cobalah untuk bertanya dengan tujuan untuk mengetahui, bukan untuk menguji sang dosen. Selain menambah nilai buat kamu, mau juga bisa dikenal baik oleh dosen. Bisa berguna dikemudian hari.
2. Aktif berdiskusi
Aktivitas mahasiswa didominasi oleh diskusi pada setiap matakuliah. Sebisa mungkin kamu selalu aktif  ketika berdiskusi, tentunya untuk bisa aktif berdiskusi kamu harus rajin-rajin bertanya dan banyak membaca literatur mengenai bahan diskusi kamu.
3. Pahami materi ajar
Dosen biasanya hanya akan memberikan soal-soal ujian final dari apa saja yang pernah dijelaskannya. Oleh karena itu, pahamilah baik-baik setiap yang diajarkan oleh dosen sewaktu kuliah, jadi ketika ujian final tiba kamu tidak perlu lagi repot-repot membaca 1 sampai 2 buku, dan pada saat ujian tidak semua yang telah dibaca masuk di ujian akhir.
4. Pandai merangkai kata 
Saat ujian telah tiba, cobalah menjawab setiap soal yang diujikan. Bila terdapat pertanyaan yang sifatnya argumen, maka sebaiknya kamu memberikan jawaban yang lumayan panjang tetapi tetap sesuai dengan inti pertanyaan. Biasanya ada beberapa dosen yang dengan melihat jawaban kamu yang panjang lebar langsung saja diberikan nilai tinggi. Description: 3 Tips dan cara Mendapatkan Nilai 4 pada setiap mata kuliahRating: 4.5 Reviewer: Fitrah al anshori - ItemReviewed: 3 Tips dan cara Mendapatkan Nilai 4 pada setiap mata kuliah


Read more: http://tikars.blogspot.com/2012/08/3-tips-dan-cara-mendapatkan-nilai-4.html#ixzz2Dzufj3vz

Tipe Dosen dan cara Menghadapinya


Nah buat kamu yang masih kuliah, coba dipelajari nih, karena selain tipe-tipenya, MBDC juga ngasih sedikit tips cara untuk menghadapi dosen-dosen dibawah ini.

1. Dosen Normal

Dosen yang ini normal-normal aja. Kadang telat, kadang on time. Kalo nggak bisa ngajar ngasi kabar dulu. Di kelas juga ngajar aja selayaknya seorang dosen, kadang ngasi quiz dan tugas. Dan ketika waktu ujian, kalo kamu belajarnya bener, kamu bisa dapet A, kalo enggak belajar ya.. kamu bisa nggak lulus.
Cara Menghadapi : Belajar aja yang bener, aktif di kelas, jangan keseringan cabut.

2. Dosen Killer

5 Menit sebelum kelas dimulai beliau sudah duduk rapih di mejanya. Proyektor sudah menyala, papan tulis sudah bersih dan spidol sudah siap. Ketika waktunya tiba, kelas pun dimulai. Beliau mulai mengabsen mahasiswa-nya satu persatu. Kamu datang hanya 2 menit setelah absen selesai, tapi tiada ampun bagimu.
20 menit kelas berjalan, si beliau ini sedang konsentrasi menjelaskan materi kuliah hari ini, semua tampak memperhatikan, dan ada beberapa yang mencatat. Namun tiba-tiba terdengar suara obrolan di belakang. Teguran keras dan ancaman langsung keluar dari mulutnya. Dan ternyata, ada mahasiswa yang tidur! Betapa besar nyalinya. Beliau pun membangunkan mahasiswa tersebut, dan membombardirnya dengan beberapa pertanyaan sulit. Sang mahasiswa yang masih setengah sadar hanya bisa terdiam, dan beliau pun langsung mengusirnya sambil menyuruhnya untuk cuci muka. Kuliah pun berjalan kembali, semua mata tertuju ke depan, ketakutan.
Beberapa minggu kemudian, nilai ujian pun keluar. Kamu sudah belajar keras untuk mendapatkan nilai bagus di kelas ini, sampe-sampe kamu begadang 2 malam. Ternyata, nilai kamu C. Selamat ya. Udah bisa lulus aja untung kalo sama dosen yang ini.
Cara Menghadapi : Banyak-banyak berdoa dan belajar. Jangan banyak tingkah, dan tinggalkan kehidupan sosial dan percintaan selama masa ujian.

3. Dosen Tua

Dosen-dosen tua biasanya memiliki pengetahuan yang mendalam dalam bidang studinya, dan juga mempunyai segudang pengalaman untuk dibagi. Karena sudah tua, biasanya mereka nggak aneh-aneh waktu ngajar. Dan biasanya kelas berakhir sebelum waktunya karena dosen tua lebih cepat lelah. Mereka juga cenderung tidak pelit dalam hal memberi nilai.
Kelemahannya hanya 1, karena mereka sudah tua, biasanya gaptek. Kalo ngajar masih pake OHP atau slide manual, dan kalopun bisa pake komputer, nyalainnya bisa 15 menit sendiri.
Cara Menghadapi : Cari mukalah dengan cara membantu menyalakan komputer

4. Dosen Nyentrik

Dosen nyentrik ini biasanya yang paling diingat sama mahasiswanya, karena mereka punya ciri khas yang sangat aneh, baik itu kelakuan ato penampilan.
Misalnya dulu MBDC punya dosen yang suka pake topi koboi dan kuteks warna warni waktu ngajar, padahal si dosen ini adalah bapak-bapak, dan hobinya adalah becanda porno. Terus pernah lagi MBDC punya dosen yang fanatik sama sebuah klub bola, kalo klubnya itu menang pas ngajar bakal jadi super baik, terlebih sama mahasiswa yang pake kaos klub bola tersebut. Tapi kalo klubnya itu kalah, semua bisa kena omel sama dia. Dan kalo kalahnya pas lagi musim ujian, yaa siap-siap aja ngulang semester depan.
Cara Menghadapi : Pelajari gerak gerik dan ciri khasnya. Gunakan informasi tersebut untuk keuntungan kamu.

5. Dosen Gaib

Dosen-dosen gaib itu biasanya punya kerjaan selain ngajar di kampus, dan cuma ke kampus kalo mau ngajar. Nggak banyak yang kenal mukanya, soalnya emang jarang keliatan.
Hari pertama kelas, datengnya telat. Abis itu cuma bagiin silabus dan ngejelasin apa yang bakal dipelajarin di kuliah ini secara singkat, dan kelas pun berakhir setelah hanya satu jam. Minggu-minggu setelahnya, kadang datang kadang tidak. Waktu nggak datang, nggak ada kabar dan nggak jelas bakal ada kelas pengganti ato enggak. Palingan si asistennya aja yang gantiin atau ngasi tugas.
Waktu ujian tiba, kamu pun belajar seadanya dari buku, karena sebenernya kamu dan temen-temen nggak ngerti-ngerti amat sama mata kuliah ini gara-gara dosennya gaib. Dan setelah nilai keluar, kamu pun bingung kenapa nilai kamu segitu. Benar-benar gaib.
Cara Menghadapi : Dosen ini gaib seperti ninja. Kamu harus waspada, buka mata dan telinga untuk serangan tiba-tiba.

6. Dosen Baik 

Defisini dosen baik itu singkat, padat dan jelas : Dosen yang tidak macam-macam dan memberi kamu nilai A.
Cara Menghadapi : Jangan ngelunjak mentang-mentang dosennya baik.
Ada lagi tipe dosen menurut kamu? Ato kamu punya dosen nyentrik juga? Silakan di share di comment ya..


Sumber: http://malesbanget.com/2012/02/tipe-tipe-dosen-dan-cara-menghadapinya/#ixzz2Dzta6meq
Copyright Malesbanget.com 2011
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial No Derivatives

Perbedaan pemerintah dan pemerintahan


Pengertian Pemerintah dan PemerintahanPemerintah dan pemerintahan mempunyai pengertian yang berbeda. Pemerintah merujuk  kepada organ atau alat perlengkapan, sedangkan pemerintahan menunjukkan  bidang tugas atau fungsi. Dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja. Sedangkan dalam arti luas, pemerintah mencakup  aparatur negara yang meliputi semua organ-organ, badan-badan atau lembaga-lembaga, alat perlengkapan negara yang melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian  pemerintah dalam arti luas adalah semua lembaga negara yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.Dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan, fungsi, tugas dan kewajiban yang dijalankan oleh lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau penduduk dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Di samping itu dari segi struktural fungsional pemerintahan dapat didefinisikan pula sebagai suatu sistem struktur dan organisasi dari berbagai macam fungsi yang dilaksanakan atas dasar-dasar tertentu untuk mewujudkan tujuan negara. (Haryanto dkk, 1997 : 2-3). Secara deduktif dapat disimpulkan bahwa pemerintah dan pemerintahan dibentuk berkaitan dengan pelaksanaan berbagai fungsi yang bersifat operasional dalam rangka pencapaian tujuan negara yang lebih abstrak, dan biasanya  ditetapkan secara konstitusional. Berbagai fungsi tersebut dilihat dan dilaksanakan secara berbeda oleh sistem sosial yang berbeda, terutama secara ideologis. Hal tersebut mewujud dalam sistem pemerintahan yang berbeda, dan lebih konkrit terwakili oleh dua kutub ekstrim masing-masing rezim totaliter (sosialis) dan rezim demokratis. Substansi perbedaan keduanya terletak pada perspektif pembagian kekuasaan negara (pemerintah). Pemencaran kekuasaan (dispersed of power), menurut Leslie Lipson, merupakan salah satu dari lima isu besar dalam proses politik (Josef Riwu Kaho, 2001 : 1).  Pemerintahan daerah merupakan konsekuensi pelaksanaan pemencaran kekuasaan itu.

Pemerintahan dan pemerintah

Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem pemerintahan. Sama halnya, terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia.

Menurut ajaran Plato sistem terbagi menjadi lima yaitu Aristokrasi, Timokrasi, Oligarki, Demokrasi dan Tirani.
Menurut ajaran Aristoteles sistem terbagi menjadi enam yaitu
SistemBaikBuruk
dipegang satu orangMonarkiTirani
dipegang beberapa orangAristokrasiOligarki
dipegang semua orangDemokrasiAnarki
Menurut ajaran Polybios sistem terbagi menjadi enam yaitu
SistemBaikBuruk
dipegang satu orangMonarkiTirani
dipegang beberapa orangAristokrasiOligarki
dipegang semua orangDemokrasiOkhlokrasi




Macam-macam pemerintahan

Presidensial


Sistem presidensial (presidensial), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaneksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3 unsur yaitu:
  • Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
  • Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.
  • Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
Model ini dianut oleh Amerika SerikatFilipinaIndonesia dan sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah.

Ciri-ciri sistem presidensial

Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu :
  • Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
  • Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat.
  • Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
  • Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan eksekutif (bukan kepada kekuasaan legislatif).
  • Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
  • Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.

Kelebihan dan kelemahan sistem presidensial

Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial:
  • Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  • Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Filipina adalah enam tahun dan Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  • Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  • Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial:
  • Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  • Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  • Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas
  • Pembuatan keputusan memakan waktu yang lama.

Minggu, 02 Desember 2012

Semipresidensialisme


SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA BERDASARKAN FAHAM KEKELUARGAAN DAN IDIOLOGI NEGARA PANCASILA[1]Prof. Dr. Sofian EffendiKetua Dewan Pertimbangan Forum Rektor IndonesiaKetua Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia
Ketua Badan Pelaksana Harian Program Pascasarjana Administrasi Publik UGMPengantar
Pertama-tama saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ketua dan seluruh Pengurus Lembaga Kerjasama Penumbuhan Karakter Bangsa (LPPKB) yang telah mengundang dan memberikan kehormatan yang besar kepada saya untuk tampil sebagai pembicara pada Seminar Nasional hari ini yang mengambil tema „Dengan semangat Kebangkitan Nasional kita perkokoh Wawasan Kebangsaan dengan Meningkatkan Pengamalan Pancasila.“
Saya sangat menghargai Pengurus LKPKB atas penetapan tema Seminar Nasional ini. Wawasan Kebangsaan dan Pengamalan Pancasila sangatlah penting peranannya sebagai perekat Negara Bangsa yang diproklamasikan oleh bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Menghadapi hempasan gelombang globalisasi yang semakin kuat dan penyebaran semangat sub-nasionalisme yang seakan-akan tak terbendung, Bangsa dan Negara Republik Indonesia dapat tumbuh dan kuat bila Wawasan Kebangsaan dan Pancasila selalu ditanamkan, dipelihara, dan disuburkan dalam sanubari dan menjadi norma dasar dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya, ditengah-tengah hempasan gelombang globalisasi yang semakin ganas dan penyebaran semangat sub-nasionalisme dan neo-tribalisme yang semakin menguat, Bangsa Indonesia justru terlena dan hampir lupa membangun perekat Bangsa dan Negara.
Pada Seminar ini saya ingin urun rembug dengan para hadirin, pemikiran, keprihatinan dan kekhawatiran saya mengenai sistem kenegaraan dan model pemerintahan negara yang berlaku setelah amandemen UUD 1945. Sistem kenegaraan dan model pemerintahan negara yang ditetapkan melalui 4 kali amandemen pada kurun waktu 1999-2002 jelas amat berbeda dari sistem negara dan model pemerintahan negara yang dicita-citakan oleh para pendiri negara. Bahkan, model pemerintahan negara yang berlaku, sistem presidensial, dianggap oleh founding fathers tidak cocok untuk Negara Republik Indonesia yang sedang mereka bentuk karena secara empiris banyak negara baru yang awalnya memilih model pemerintahan tersebut kemudian berganti sistem karena sistem presidensial tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang sangat diperlukan oleh negara-negara yang baru merdeka.
Karena alasan itu, dalam Rapat Besar Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 15 Juli 1945 dengan acara penyusun Hukum Dasar, Dr. Sukiman adalah orang pertama yang menyatakan Rancanagan Undang Undang Dasar yang disusun Panitia Kecl dibawah pimpinan Ir Sukarno ber „Sistem Sendiri“ yang berbeda dari sistem pemerintahan negara-negara lain tetapi dianggap lebih mampu menjamin stabiliteit pemerintahan yang merupakan syarat mutlak untuk sebuah negara baru. Nama Pemerintahan „Sistem Sendiri“ yang diusulkan oleh Dr. Sukiman tersebut kemudian didukung oleh Prof. Soepomo yang dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia menganut Sistem Pemerintahan sendiri, bukan Sistem Presidensial seperti di Amerika Serikat dan Sistem Parlementer seperti di Inggeris. Pernyataan Prof. Soepomo tersebut ditunjang oleh tokoh-tokoh BPUPK yang paling terkemuka termasuk Bung Karno, Bung Hatta, Mr. M. Yamin, Sutardjo, dan lain-lain. Tidak ada seorangpun anggota BPUPK yang menyatakan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial.
Sayang sekali ketika MPR-RI melakukan amandemen terhadap hukum dasar atau grondwet Negara Republik Indonesia tidak dilakukan penelitian terhadap sumber-sumber otentik yang sebenarnya tersedia, baik buku Mr. M. Yamin „Sejarah Penyusunan Undang-Undang Dasar 1945“ maupun buku terbitan Sekretariat Negara „Risalah Rapat-Rapat BPUPKI dan PPKI.“
Sebelum melakukan amandemen, para anggota MPR telah membuat kesepakatan tentang bagian UUD 1945 yang perlu dipertahankan yaitu:[2]
1. Pembukaan UUD 1945
2. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Bentuk Pemerintahan Presidensial
4. Dimasukkannya norma-norma kenegaraan yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945.
5. Dipergunakannya pendekatan amandemen dalam amandemen UUD 1945.
Butir 3 mungkin merujuk pada kesimpulan Tim Penyunting buku „Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)“ terbitan Sekretariat Negara R.I. yang menyimpulkan dengan salah “ … Sistem Pemerintahan dalam Rancangan UUD hasil Rapat Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945 adalah Sistem Pemerintahan Presidensial.“[3] Kesimpulan tersebut jelas kesalahan fatal karena bertentangan dengan rumusan Panitia Kecil dari Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang disampaikan oleh Prof. Soepomo pada Sidang Kedua BPUPKI tanggal 15 Juli 1945.[4]
UUD 1945 menganut faham Kolektivisme model Indonesia„Jang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidoepnya negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipoen dibikin oendang-oendang dasar yang menoeroet kata-katanya bersifat kekeloeargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu adalah bersifat perseorangan, oendang-oendang dasar itu pasti tidak ada gunanya dalam praktek.“
Kalimat tersebut tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, suatu dokumen historis, dokumen politik dan dokumen hukum yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena menjelaskan faham atau mazhab pemikiran yang menjadi dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Dasar filosofis pembentukan Negara Republik Indonesia adalah semangat kekeluargaan yang merupakan kontekstualisasi dari faham kolektivisme, mazhab pemikiran yang bertentangan dengan semangat perseorangan atau individualisme. Namun tragedi nasional telah terjadi. Ketetapan MPR tanggal 10 Agustus 2002 pada Aturan Tambahan Pasal II oleh banyak fihak telah ditafsirkan sebagai tindakan menghapus Penjelasan dari naskah UUD NRI. Ketetapan MPR tersebut telah membuat sirna suatu dokumen yang amat penting, buah karya para bapak bangsa yang mengandung landasan filosofis pembentukan Negara dan cara pengelolaannya. Hilanglah sudah untaian cita-cita dan kebijakbestarian para penyusun Konstitusi tentang semangat, faham dan kerangka fikir yang mendasari penyusunan UUD 1945. Disengaja atau tidak pimpinan dan anggota MPR masa bakti 1999-2004 telah memerosokkan bangsa Indonesia ke dalam kegelapan sejarah sehingga terputus hubungan dengan masa lalu. Dengan menghapus Penjelasan dari naskah UUD 1945 para elit bangsa telah membuat bangsa Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang tidak menghargai karya besar para pendiri Bangsa dan Negara, bangsa yang tidak punya sejarah pemikiran hukum tentang Konstitusi Negara.
Sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dirumuskan oleh the founding fathers adalah hasil penghayatan yang mendalam tentang corak budaya bangsa dan buah dari pencarian panjang atas mashab-mashab pemikiran tentang pembentukan negara, terutama mazhab atau faham individualisme dan mazhab atau faham kolektivisme. Bangsa Indonesia secara sosial budaya adalah bangsa yang besifat kolektivistik karena sikap, pemikiran, perilaku dan tanggungjawab seorang warga bangsa kepada kolektivitasnya berada di atas kepentingan individu. Karena itu Negara Republik Indonesia didirikan dengan berlandaskan semangat kekeluargaan yang merupakan kontekstualisasi faham kolektivisme sesuai corak budaya bangsa Indonesia.
Semangat kekeluargaan yang menjadi landasan meta-filosofis dari Pancasila dan Pembukaan UUD yang selanjutnya diterjemahkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang menetapkan tentang sistem dan bentuk negara, pemegang kedaulatan, sistem pemerintahan negara, sistem demokrasi, sistem ekonomi, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Namun. melalui 4 kali amandemen, MPR telah menghilangkan semangat kekeluargaan dari batang tubuh Konstitusi. Dalam Pembukaan yang tidak tersentuh oleh pisau amandemen MPR tidak mengalami perubahan, semangat kekeluarga masih tertanam kuat. Tapi pasal-pasal dalam batang tubuh UUD telah kehilangan ciri-ciri aslinya yaitu semangat kekeluargaan karena lebih berciri individualisme atau bersifat perseorangan. Sekarang setelah amandemen bukan semangat para penyelenggara negara yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pendirian Negara Republik Indonesia, tetapi ketentuan-ketentuan dalam UUD hasil amandemen yang sebagiannya „bersemangat perseorangan,“ telah bertentangan dengan semangat kekeluargaan yang merupakan suasana kebatinan yang menyelimuti penyusunan UUD 1945.
Negara Kekeluargaan[5]Pembentukan negara-negara moderen biasanya dipengaruhi oleh dua faham atau mazhab pemikiran tentang hubungan negara dengan warga negara. Penindasan para raja yang seringkali mempersonifikasikan diri sebagai negara — l’etat c’est moi – selama berabad-abad di Eropah telah mendorong kelahiran Gerakan Renaissance, yang mengakui hak individu dari setiap warganegara. Faham individualisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke. Jean Jacques Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, telah mewarnai seluruh aspek kehidupan bangsa-bangsa Barat dan menjadi nilai dasar dalam sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik demokrasi yang berkembang pesat, setelah bangsa Eropah mengalami penindasan oleh para penguasa absolut dalam negara monarki absolut. Menurut faham individualisme, negara ialah masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat (social contract).
Faham kolektivisme, yang merupakan aliran pemikiran kedua, adalah antitesis dari faham pertama dan tidak mengakui hak-hak dan kebebasan individu yang absolut. Faham ini memandang kesamaan ideologi atau keunggulan ras adalah dasar dalam penyusunan negara yang terdiri atas pimpinan atau partai sebagai suprastruktur dan masyarakat sebagai struktur. Faham kolektivisma kemudian cenderung berkembang menjadi pemerintahan diktator totaliter seperti dialami bangsa Jerman di bawah Hitler, Uni Soviet di bawah pemerintahan komunis, Italia di bawah Mussolini, dan RRC di bawah pimpinan Mao Ze-dong.
Faham kolektivisme mempunyai beberapa cabang pemikiran, diantaranya yang dikenal sebagai teori kelas (class theory) yang dikembangkan oleh Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat oleh suatu kelas untuk menindas kelas yang lain. Kelas yang berhasil menguasai negara biasanya adalah golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat untuk menindas golongan atau kelas ekonomi lemah. Negara kapitalistik adalah alat golongan beourgeoisi untuk menindas kaum buruh (proletariat). Oleh karena itu satu-satunya cara yang dianurkan oleh para Marxis untuk mengatasi penindasan kaum beourgeoisie adalah revolusi politik kaum buruh dan kelompok tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan negara dan menggantikan para penindas. Cabang yang lain adalah seperti yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik. Menurut pandangan teori ini, negara didirikan bukan untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Negara adalah suatu masyarakat integral, yang segala golongan, bagian dan anggotanya, satu dengan lainnya merupakan kesatuan masyarakat yang organis Yang terpenting dalam kehidupan bernegara menurut teori integral adalah kehidupan dan kesejahteraan bangsa seluruhnya.
Harus kita fahami, gerakan kemerdekaan Indonesia memandang faham individualisme yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Barat adalah sumber dari kapitalisme, kolonialisme dan imprealisme yang mereka tentang habis-habisan. Mereka juga tidak setuju faham kolektivisme karena faham tersebut akan menghasilkan pemerintahan diktatorial seperti di Rusia, Italia dan RRC. The Founding fathers menganggap kolektivisme model Indonesia yang berakar pada corak budaya bangsa yaitu semangat gotong royong, tanggung jawab kepada kelompok, dan konsep ”manunggaling kawulo lan gusti” adalah nilai-nlai dasar yang menjadi ciri kolektivisme model Indonesia.
Para pendiri negara nampaknya mempunyai interpretasi yang berbeda tentang faham kekeluargaan a la Indonesia. Bung Karno menangkap kekeluargaan bangsa Indonesia lebih dari dinamika dan semangatnya yaitu gotong royong. Bung Hatta memandang kekeluargaan secara etis sebagai interaksi sosial dan kegiatan produksi dalam kehidupan desa yang bersifat saling tolong menolong antar sesama. Para warga desa sebagai keluarga besar memiliki bersama semua sarana produksi, mereka mengerjakan bersama kegiatan produksi, dan kemudian mnikmati bersama hasil dari kegiatan kolektif tersebut. Potret kehidupan ekonomi kekeluargaan seperti didapatkan dalam wadah koperasi sebagai bentuk usaha bersamayang berfaham kekeluargaan. Prof. Soepomo menafsirkan kekeluargaan lebih sebagai konsep organis-biologis. Hampiran meta-teoretikal yang berbeda tersebut menghasilkan interpretasi yang berbeda pula tentang konsep kekeluargaan.
Dasar dan bentuk susunan susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa. Karena itulah setiap negara membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik, hukum dan struktur sosialnya. Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat BPUPK tanggal 29 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indnesia yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik (sic, maksud Prof. Soepomo adalah negara berdasarkan teori integral!), negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998: 55). Dalam negara yang integral tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia, menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya. Inilah interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong. Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga. Tapi pandangan Prof. Soepomo tersebut berubah setelah Mr. Maramis dan Mr. Wongsonegoro menyarankan agar UUD disusun atas dasar Piagam Jakarta.[6]
Bung Hatta, berbeda dengan Bung Sukarno dan Prof. Soepomo, menerjemahkan faham kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan Indonesia. Intinya adalah semangat tolong menolong atau gotong royong. Karena itu dalam pemikiran Bung Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme a la Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama. Jadi, kolektivisme oleh Bung Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan Bintang, 138-144).
Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura, suatu forum untuk musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest, suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen (Rasuanto, Kompas, 1999). Pada negara moderen, lembaga syura ditransformasikan menjadi majelis permusyawaratan rakyat dan badan perwakilan rakyat, tradisi massa protest merupakan landasan bagi kebebasan hak berserikat, hak berkumpul, dan hak menyatakan pendapat, dan kolektivisme diwujudkan dalam bentuk ekonomi nasional yang berasaskan kekeluargaan, dalam bentuk koperasi serta tanggungjawab pemerintah dalam menciptakan keadilan dalam kegiatan ekonomi rakyat.
Dalam perkembangan negara kekeluargaan tersebut, Bung Hatta telah memprediksikan akan terjadinya tarikan kearah semangat individualisme yang semakin kuat dalam segala kehidupan rakyat, khususnya dalam ekonomi. Individualisme, menurut Bung Hatta, jangan dilawan dengan kembali ke kolektivisma tua, melainkan dengan “mendudukkan cita-cita kolektivisma itu pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen, yang lebih efektif dari individualisme“ (Hatta, Demokrasi Ekonomi, UI Press, 192, 147).
Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei – 1 Juli dan dari 10 – 17 Juli 1945, dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18-22 Agusutus 1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar negara (Setneg, 1998: 7-147). Bung Karno, bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corak hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.
Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia, adalah upaya untuk mengadakan peataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidnag politik, ekonomi, hukum dan social. Menurut Imawan (Yogyakarta, UGM, 2004) tujuan utama gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemrintah pusat dan pemrintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.
Sebetulnya Gerakan Reformasi tersebut merupakan momentum yang amat baik bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengadakan amendemen UUD 1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD telah menghasilkan sistem pemerintahan baru, sistem presidensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negaara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamental norm sistem pemerintahan Indonesia.
Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 2002 hasil amandemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004).
Sistem Pemerintahan SendiriSistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah Sistem Pemerintahan yang memiliki 9 norma pokok yaitu:
I. Indonesia ialah negara yang berdasar atas Hukum (Rechtstaat);
II. Sistem Konstitusional
III. MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi;
IV. Presiden ialah Penyelenggara Megara Tinggi di bawah MPR;
V. Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR;
VI. Menteri Negara adalah pembantu Presiden;
VII. Kekuasaan Negara tidak tak terbatas;
VIII. Kedudukan DPR adalah kuat
IX. Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa.
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan oleh Konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan menciptakan sistem pemerintahan yang lebih mampu menghadapi tantangan globalisasi dan gerakan sub-nasionalisme yang semakin marak? Apakah sistem pemerintahan baru yang terdiri dari lembaga legislatif bikameral, sistem pemerintahan presidensial, dan desentralisasi Negara Kesatuan dengan semangat federal like arrangement akan menciptakan suatu pemerintahan negara yang mampu membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara? Atau sebaliknya, apakah sistem pemerintahan negara yang menyimpang dari harapan para perancang konstitusi seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 justru akan menjadi ancaman baru bagi kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?
Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapat-rapat BPUPKI sekitar 10 – 17 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan founding fathers tentang sistem pemerintahan negara.
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan lagi di negara Eropah Barat.
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat dbemokrasi.
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan Dr. Soekiman, anggota BPUPKI dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPK.. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial, dan Indonesia dipandang sebagai salah satu negara di dunia yang paling pertama menggunakan sistem semi-presidensial.
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial. Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-undang.
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPK dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR.
Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lwmbaga permusyawaratan perwakilan.
Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan pemikiran BPUPKI dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPKI dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.
Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi:
“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara … Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif … „
Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satu-satunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen UUD 1945 dilakukan.
Kembalikan semangat UUD 1945Sekarang semakin banyak penelitian yang secara empiris menunjukkan bahwa sistem presidensial tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang amat diperlukan oleh negara berkembang. Salah seorang peneliti tersebut adalah F.N Riggs yang menyimpulkan dari 76 negara di Dunia Ketiga yang menganut demokrasi konstitusional, tak ada satupun dari 33 negara yang menggunakan sistem presidensial dapat bertahan, sedangkan dari 43 negara yang menganut sistem parlementer, dua pertiga dapat bertahan[7]. Sementara Mainwaring yang mengamati pelaksanaan sistem prestidensial di Amerika Latin menyimpulkan kombinasi sistem presidensial dengan demokrasi multi-partai ternyata tidak dapat menciptakan demokrasi yang stabil. Apakah para anggota MPR menyadari adanya bukti-bukti empiris tersebut ketika melakukan 4 kali amandemen terhadap UUD 1945? Wallahualam.
Ternyata amandemen sistem Pemerintahan Negara Indonesia yang dilakukan oleh MPR antara 1999-2002 didasarkan pada asumsi yang salah. Para anggota MPR, mengacu pada Risalah Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI, terbitan Sekretariat Negara R.I. yang antara lain menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah sistem presidensial. Asumsi tersebut jelas salah karena para perumus Konstitusi pertama tersebut merancang UUD 1945 berlandaskan pada kaidah dasar negara kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat, serta penyelenggaraan demokrasi sosial-ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial, dan demokrasi perwakilan-permusyawaratan sebagaimana dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945. Bila memang demikian, maka Gerakan Reformasi untuk meluruskan dan memurnikan pelaksanaan UUD 1945 pasti tidak mampu mencapai tujuannya karena UUD baru hasil 4 kali amandemen jelas-jelas telah menyimpang staats fundamentalnorms yang terdapat dalam Pembukaan UUD tersebut, dan lebih-lebih dari faham kekeluargaan atau kelektivisme model Indonesia yang mendasari penyusunan UUD 1945.
Karena itu salah satu agenda pokok bangsa Indonesia ke depan adalah meluruskan kembali UUD 1945 sesuai dengan kaidah fundamentalnya. Pelurusan UUD 1945 tidak mungkin dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 2004 karena MPR yang bi-atau-tri-kameral tersebut bukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat, bukan perwujudan dari seluruh rakyat. Salah satu langkah konstitusional yang dapat ditempuh oleh Pemerintah adalah meminta persetujuan rakyat melalui referendum untuk memurnikan UUD 1945 yang dilakukan oleh suatu Komisi Konstitusi independen yang merupakan representasi dari semua unsur masyarakat Indonesia
Sayangnya pemurnian UUD 1945 tidak mudah dilakukan karena Penjelasan UUD 1945 yang merupakan satu-satunya penejelasan resmi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Lembaran Negara R.I. Nomor …. tahun 1946 dan karena itu merupakan dokumen politik dan hukum konstitusional yang paling penting untuk menafsirkan teks UUD telah dinyatakan tidak berlaku oleh MPR.
Jalan untuk meluruskan sejarah penyusunan UUD Negara Republik Indonesia sebenarnya masih cukup terbuka karena menurut Prof. Maria Farida dari Universitas Indonesia, MPR-RI hanya menetapkan amandemen I sampai IV UUD 1945. Tidak pernah ada ketetapan MPR-RI tentang penulisan dan penggabungan Amandemen I sampai IV dalam satu naskah UUD. Menghapuskan penjelasan resmi UUD 1945 yang dimuat dalam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II Nomor 7. dari sudut pandangan etika akademik jelas suatu perbuatan kurang terpuji karena menghilangkan salah satu sumber penting dan resmi untuk memahami semangat dan pemikiran para penyusun Konstitusi pertama Negara Republik Indonesia. Saya kira hanya bangsa yang bodoh dan dungu yang mau melakukan kesalahan sebesar itu.
Karena tidak ada Ketetapan MPR-RI tentang penulisan yang menggabungkan naskah UUD 1945 dan amandemen-amandemen dalam 1 naskah UUD Negara Republik Indonesia, maka bahan yang disosialisasikan oleh MPR-RI dapat menyesatkan masyarakat kurang memahami. Para pemimpin bangsa harus berani mengakui bahwa naskah UUD Republik Indonesia yang lengkap harusnya terdiri dari: (a) Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang asli; (b) Amandemen I; (c) Amandemen II, (d) Amandemen III; (d) Amandemen IV; dan (e) Penjelasan Resmi UUD 1945 sebagaimana yang diberitakan dalam Lembaran Negara R.I. Tahun 1946 Nomor 17. Kalau langkah itu dilakukan, barulah kita dapat bertepuk dada dan dengan lantang mengatakan „Bangsaku adalah bangsa yang menghargai karya besar para Bapak Bangsa dan Bangsaku adalah bangsa yang memiliki sejarah Bangsa.“ Hanya dengan demikan kita dapat menjadi Bangsa yang Besar. Semoga.