Minggu, 02 Desember 2012

Semipresidensialisme


SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA
SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA BERDASARKAN FAHAM KEKELUARGAAN DAN IDIOLOGI NEGARA PANCASILA[1]Prof. Dr. Sofian EffendiKetua Dewan Pertimbangan Forum Rektor IndonesiaKetua Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia
Ketua Badan Pelaksana Harian Program Pascasarjana Administrasi Publik UGMPengantar
Pertama-tama saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Ketua dan seluruh Pengurus Lembaga Kerjasama Penumbuhan Karakter Bangsa (LPPKB) yang telah mengundang dan memberikan kehormatan yang besar kepada saya untuk tampil sebagai pembicara pada Seminar Nasional hari ini yang mengambil tema „Dengan semangat Kebangkitan Nasional kita perkokoh Wawasan Kebangsaan dengan Meningkatkan Pengamalan Pancasila.“
Saya sangat menghargai Pengurus LKPKB atas penetapan tema Seminar Nasional ini. Wawasan Kebangsaan dan Pengamalan Pancasila sangatlah penting peranannya sebagai perekat Negara Bangsa yang diproklamasikan oleh bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Menghadapi hempasan gelombang globalisasi yang semakin kuat dan penyebaran semangat sub-nasionalisme yang seakan-akan tak terbendung, Bangsa dan Negara Republik Indonesia dapat tumbuh dan kuat bila Wawasan Kebangsaan dan Pancasila selalu ditanamkan, dipelihara, dan disuburkan dalam sanubari dan menjadi norma dasar dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya, ditengah-tengah hempasan gelombang globalisasi yang semakin ganas dan penyebaran semangat sub-nasionalisme dan neo-tribalisme yang semakin menguat, Bangsa Indonesia justru terlena dan hampir lupa membangun perekat Bangsa dan Negara.
Pada Seminar ini saya ingin urun rembug dengan para hadirin, pemikiran, keprihatinan dan kekhawatiran saya mengenai sistem kenegaraan dan model pemerintahan negara yang berlaku setelah amandemen UUD 1945. Sistem kenegaraan dan model pemerintahan negara yang ditetapkan melalui 4 kali amandemen pada kurun waktu 1999-2002 jelas amat berbeda dari sistem negara dan model pemerintahan negara yang dicita-citakan oleh para pendiri negara. Bahkan, model pemerintahan negara yang berlaku, sistem presidensial, dianggap oleh founding fathers tidak cocok untuk Negara Republik Indonesia yang sedang mereka bentuk karena secara empiris banyak negara baru yang awalnya memilih model pemerintahan tersebut kemudian berganti sistem karena sistem presidensial tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang sangat diperlukan oleh negara-negara yang baru merdeka.
Karena alasan itu, dalam Rapat Besar Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 15 Juli 1945 dengan acara penyusun Hukum Dasar, Dr. Sukiman adalah orang pertama yang menyatakan Rancanagan Undang Undang Dasar yang disusun Panitia Kecl dibawah pimpinan Ir Sukarno ber „Sistem Sendiri“ yang berbeda dari sistem pemerintahan negara-negara lain tetapi dianggap lebih mampu menjamin stabiliteit pemerintahan yang merupakan syarat mutlak untuk sebuah negara baru. Nama Pemerintahan „Sistem Sendiri“ yang diusulkan oleh Dr. Sukiman tersebut kemudian didukung oleh Prof. Soepomo yang dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia menganut Sistem Pemerintahan sendiri, bukan Sistem Presidensial seperti di Amerika Serikat dan Sistem Parlementer seperti di Inggeris. Pernyataan Prof. Soepomo tersebut ditunjang oleh tokoh-tokoh BPUPK yang paling terkemuka termasuk Bung Karno, Bung Hatta, Mr. M. Yamin, Sutardjo, dan lain-lain. Tidak ada seorangpun anggota BPUPK yang menyatakan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial.
Sayang sekali ketika MPR-RI melakukan amandemen terhadap hukum dasar atau grondwet Negara Republik Indonesia tidak dilakukan penelitian terhadap sumber-sumber otentik yang sebenarnya tersedia, baik buku Mr. M. Yamin „Sejarah Penyusunan Undang-Undang Dasar 1945“ maupun buku terbitan Sekretariat Negara „Risalah Rapat-Rapat BPUPKI dan PPKI.“
Sebelum melakukan amandemen, para anggota MPR telah membuat kesepakatan tentang bagian UUD 1945 yang perlu dipertahankan yaitu:[2]
1. Pembukaan UUD 1945
2. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Bentuk Pemerintahan Presidensial
4. Dimasukkannya norma-norma kenegaraan yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945.
5. Dipergunakannya pendekatan amandemen dalam amandemen UUD 1945.
Butir 3 mungkin merujuk pada kesimpulan Tim Penyunting buku „Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)“ terbitan Sekretariat Negara R.I. yang menyimpulkan dengan salah “ … Sistem Pemerintahan dalam Rancangan UUD hasil Rapat Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945 adalah Sistem Pemerintahan Presidensial.“[3] Kesimpulan tersebut jelas kesalahan fatal karena bertentangan dengan rumusan Panitia Kecil dari Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang disampaikan oleh Prof. Soepomo pada Sidang Kedua BPUPKI tanggal 15 Juli 1945.[4]
UUD 1945 menganut faham Kolektivisme model Indonesia„Jang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidoepnya negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipoen dibikin oendang-oendang dasar yang menoeroet kata-katanya bersifat kekeloeargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu adalah bersifat perseorangan, oendang-oendang dasar itu pasti tidak ada gunanya dalam praktek.“
Kalimat tersebut tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, suatu dokumen historis, dokumen politik dan dokumen hukum yang sangat penting bagi bangsa Indonesia karena menjelaskan faham atau mazhab pemikiran yang menjadi dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Dasar filosofis pembentukan Negara Republik Indonesia adalah semangat kekeluargaan yang merupakan kontekstualisasi dari faham kolektivisme, mazhab pemikiran yang bertentangan dengan semangat perseorangan atau individualisme. Namun tragedi nasional telah terjadi. Ketetapan MPR tanggal 10 Agustus 2002 pada Aturan Tambahan Pasal II oleh banyak fihak telah ditafsirkan sebagai tindakan menghapus Penjelasan dari naskah UUD NRI. Ketetapan MPR tersebut telah membuat sirna suatu dokumen yang amat penting, buah karya para bapak bangsa yang mengandung landasan filosofis pembentukan Negara dan cara pengelolaannya. Hilanglah sudah untaian cita-cita dan kebijakbestarian para penyusun Konstitusi tentang semangat, faham dan kerangka fikir yang mendasari penyusunan UUD 1945. Disengaja atau tidak pimpinan dan anggota MPR masa bakti 1999-2004 telah memerosokkan bangsa Indonesia ke dalam kegelapan sejarah sehingga terputus hubungan dengan masa lalu. Dengan menghapus Penjelasan dari naskah UUD 1945 para elit bangsa telah membuat bangsa Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang tidak menghargai karya besar para pendiri Bangsa dan Negara, bangsa yang tidak punya sejarah pemikiran hukum tentang Konstitusi Negara.
Sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dirumuskan oleh the founding fathers adalah hasil penghayatan yang mendalam tentang corak budaya bangsa dan buah dari pencarian panjang atas mashab-mashab pemikiran tentang pembentukan negara, terutama mazhab atau faham individualisme dan mazhab atau faham kolektivisme. Bangsa Indonesia secara sosial budaya adalah bangsa yang besifat kolektivistik karena sikap, pemikiran, perilaku dan tanggungjawab seorang warga bangsa kepada kolektivitasnya berada di atas kepentingan individu. Karena itu Negara Republik Indonesia didirikan dengan berlandaskan semangat kekeluargaan yang merupakan kontekstualisasi faham kolektivisme sesuai corak budaya bangsa Indonesia.
Semangat kekeluargaan yang menjadi landasan meta-filosofis dari Pancasila dan Pembukaan UUD yang selanjutnya diterjemahkan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang menetapkan tentang sistem dan bentuk negara, pemegang kedaulatan, sistem pemerintahan negara, sistem demokrasi, sistem ekonomi, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Namun. melalui 4 kali amandemen, MPR telah menghilangkan semangat kekeluargaan dari batang tubuh Konstitusi. Dalam Pembukaan yang tidak tersentuh oleh pisau amandemen MPR tidak mengalami perubahan, semangat kekeluarga masih tertanam kuat. Tapi pasal-pasal dalam batang tubuh UUD telah kehilangan ciri-ciri aslinya yaitu semangat kekeluargaan karena lebih berciri individualisme atau bersifat perseorangan. Sekarang setelah amandemen bukan semangat para penyelenggara negara yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pendirian Negara Republik Indonesia, tetapi ketentuan-ketentuan dalam UUD hasil amandemen yang sebagiannya „bersemangat perseorangan,“ telah bertentangan dengan semangat kekeluargaan yang merupakan suasana kebatinan yang menyelimuti penyusunan UUD 1945.
Negara Kekeluargaan[5]Pembentukan negara-negara moderen biasanya dipengaruhi oleh dua faham atau mazhab pemikiran tentang hubungan negara dengan warga negara. Penindasan para raja yang seringkali mempersonifikasikan diri sebagai negara — l’etat c’est moi – selama berabad-abad di Eropah telah mendorong kelahiran Gerakan Renaissance, yang mengakui hak individu dari setiap warganegara. Faham individualisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke. Jean Jacques Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, telah mewarnai seluruh aspek kehidupan bangsa-bangsa Barat dan menjadi nilai dasar dalam sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik demokrasi yang berkembang pesat, setelah bangsa Eropah mengalami penindasan oleh para penguasa absolut dalam negara monarki absolut. Menurut faham individualisme, negara ialah masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat (social contract).
Faham kolektivisme, yang merupakan aliran pemikiran kedua, adalah antitesis dari faham pertama dan tidak mengakui hak-hak dan kebebasan individu yang absolut. Faham ini memandang kesamaan ideologi atau keunggulan ras adalah dasar dalam penyusunan negara yang terdiri atas pimpinan atau partai sebagai suprastruktur dan masyarakat sebagai struktur. Faham kolektivisma kemudian cenderung berkembang menjadi pemerintahan diktator totaliter seperti dialami bangsa Jerman di bawah Hitler, Uni Soviet di bawah pemerintahan komunis, Italia di bawah Mussolini, dan RRC di bawah pimpinan Mao Ze-dong.
Faham kolektivisme mempunyai beberapa cabang pemikiran, diantaranya yang dikenal sebagai teori kelas (class theory) yang dikembangkan oleh Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat oleh suatu kelas untuk menindas kelas yang lain. Kelas yang berhasil menguasai negara biasanya adalah golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat untuk menindas golongan atau kelas ekonomi lemah. Negara kapitalistik adalah alat golongan beourgeoisi untuk menindas kaum buruh (proletariat). Oleh karena itu satu-satunya cara yang dianurkan oleh para Marxis untuk mengatasi penindasan kaum beourgeoisie adalah revolusi politik kaum buruh dan kelompok tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan negara dan menggantikan para penindas. Cabang yang lain adalah seperti yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik. Menurut pandangan teori ini, negara didirikan bukan untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Negara adalah suatu masyarakat integral, yang segala golongan, bagian dan anggotanya, satu dengan lainnya merupakan kesatuan masyarakat yang organis Yang terpenting dalam kehidupan bernegara menurut teori integral adalah kehidupan dan kesejahteraan bangsa seluruhnya.
Harus kita fahami, gerakan kemerdekaan Indonesia memandang faham individualisme yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Barat adalah sumber dari kapitalisme, kolonialisme dan imprealisme yang mereka tentang habis-habisan. Mereka juga tidak setuju faham kolektivisme karena faham tersebut akan menghasilkan pemerintahan diktatorial seperti di Rusia, Italia dan RRC. The Founding fathers menganggap kolektivisme model Indonesia yang berakar pada corak budaya bangsa yaitu semangat gotong royong, tanggung jawab kepada kelompok, dan konsep ”manunggaling kawulo lan gusti” adalah nilai-nlai dasar yang menjadi ciri kolektivisme model Indonesia.
Para pendiri negara nampaknya mempunyai interpretasi yang berbeda tentang faham kekeluargaan a la Indonesia. Bung Karno menangkap kekeluargaan bangsa Indonesia lebih dari dinamika dan semangatnya yaitu gotong royong. Bung Hatta memandang kekeluargaan secara etis sebagai interaksi sosial dan kegiatan produksi dalam kehidupan desa yang bersifat saling tolong menolong antar sesama. Para warga desa sebagai keluarga besar memiliki bersama semua sarana produksi, mereka mengerjakan bersama kegiatan produksi, dan kemudian mnikmati bersama hasil dari kegiatan kolektif tersebut. Potret kehidupan ekonomi kekeluargaan seperti didapatkan dalam wadah koperasi sebagai bentuk usaha bersamayang berfaham kekeluargaan. Prof. Soepomo menafsirkan kekeluargaan lebih sebagai konsep organis-biologis. Hampiran meta-teoretikal yang berbeda tersebut menghasilkan interpretasi yang berbeda pula tentang konsep kekeluargaan.
Dasar dan bentuk susunan susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa. Karena itulah setiap negara membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik, hukum dan struktur sosialnya. Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat BPUPK tanggal 29 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indnesia yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik (sic, maksud Prof. Soepomo adalah negara berdasarkan teori integral!), negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998: 55). Dalam negara yang integral tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia, menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya. Inilah interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong. Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga. Tapi pandangan Prof. Soepomo tersebut berubah setelah Mr. Maramis dan Mr. Wongsonegoro menyarankan agar UUD disusun atas dasar Piagam Jakarta.[6]
Bung Hatta, berbeda dengan Bung Sukarno dan Prof. Soepomo, menerjemahkan faham kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan Indonesia. Intinya adalah semangat tolong menolong atau gotong royong. Karena itu dalam pemikiran Bung Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme a la Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama. Jadi, kolektivisme oleh Bung Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan Bintang, 138-144).
Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura, suatu forum untuk musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest, suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen (Rasuanto, Kompas, 1999). Pada negara moderen, lembaga syura ditransformasikan menjadi majelis permusyawaratan rakyat dan badan perwakilan rakyat, tradisi massa protest merupakan landasan bagi kebebasan hak berserikat, hak berkumpul, dan hak menyatakan pendapat, dan kolektivisme diwujudkan dalam bentuk ekonomi nasional yang berasaskan kekeluargaan, dalam bentuk koperasi serta tanggungjawab pemerintah dalam menciptakan keadilan dalam kegiatan ekonomi rakyat.
Dalam perkembangan negara kekeluargaan tersebut, Bung Hatta telah memprediksikan akan terjadinya tarikan kearah semangat individualisme yang semakin kuat dalam segala kehidupan rakyat, khususnya dalam ekonomi. Individualisme, menurut Bung Hatta, jangan dilawan dengan kembali ke kolektivisma tua, melainkan dengan “mendudukkan cita-cita kolektivisma itu pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen, yang lebih efektif dari individualisme“ (Hatta, Demokrasi Ekonomi, UI Press, 192, 147).
Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei – 1 Juli dan dari 10 – 17 Juli 1945, dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18-22 Agusutus 1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar negara (Setneg, 1998: 7-147). Bung Karno, bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corak hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.
Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia, adalah upaya untuk mengadakan peataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidnag politik, ekonomi, hukum dan social. Menurut Imawan (Yogyakarta, UGM, 2004) tujuan utama gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemrintah pusat dan pemrintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.
Sebetulnya Gerakan Reformasi tersebut merupakan momentum yang amat baik bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengadakan amendemen UUD 1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD telah menghasilkan sistem pemerintahan baru, sistem presidensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negaara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamental norm sistem pemerintahan Indonesia.
Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 2002 hasil amandemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004).
Sistem Pemerintahan SendiriSistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah Sistem Pemerintahan yang memiliki 9 norma pokok yaitu:
I. Indonesia ialah negara yang berdasar atas Hukum (Rechtstaat);
II. Sistem Konstitusional
III. MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi;
IV. Presiden ialah Penyelenggara Megara Tinggi di bawah MPR;
V. Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR;
VI. Menteri Negara adalah pembantu Presiden;
VII. Kekuasaan Negara tidak tak terbatas;
VIII. Kedudukan DPR adalah kuat
IX. Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa.
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan oleh Konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan menciptakan sistem pemerintahan yang lebih mampu menghadapi tantangan globalisasi dan gerakan sub-nasionalisme yang semakin marak? Apakah sistem pemerintahan baru yang terdiri dari lembaga legislatif bikameral, sistem pemerintahan presidensial, dan desentralisasi Negara Kesatuan dengan semangat federal like arrangement akan menciptakan suatu pemerintahan negara yang mampu membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara? Atau sebaliknya, apakah sistem pemerintahan negara yang menyimpang dari harapan para perancang konstitusi seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 justru akan menjadi ancaman baru bagi kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?
Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapat-rapat BPUPKI sekitar 10 – 17 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan founding fathers tentang sistem pemerintahan negara.
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan lagi di negara Eropah Barat.
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat dbemokrasi.
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan Dr. Soekiman, anggota BPUPKI dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPK.. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial, dan Indonesia dipandang sebagai salah satu negara di dunia yang paling pertama menggunakan sistem semi-presidensial.
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial. Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-undang.
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPK dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR.
Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lwmbaga permusyawaratan perwakilan.
Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan pemikiran BPUPKI dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPKI dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.
Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi:
“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara … Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif … „
Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satu-satunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen UUD 1945 dilakukan.
Kembalikan semangat UUD 1945Sekarang semakin banyak penelitian yang secara empiris menunjukkan bahwa sistem presidensial tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang amat diperlukan oleh negara berkembang. Salah seorang peneliti tersebut adalah F.N Riggs yang menyimpulkan dari 76 negara di Dunia Ketiga yang menganut demokrasi konstitusional, tak ada satupun dari 33 negara yang menggunakan sistem presidensial dapat bertahan, sedangkan dari 43 negara yang menganut sistem parlementer, dua pertiga dapat bertahan[7]. Sementara Mainwaring yang mengamati pelaksanaan sistem prestidensial di Amerika Latin menyimpulkan kombinasi sistem presidensial dengan demokrasi multi-partai ternyata tidak dapat menciptakan demokrasi yang stabil. Apakah para anggota MPR menyadari adanya bukti-bukti empiris tersebut ketika melakukan 4 kali amandemen terhadap UUD 1945? Wallahualam.
Ternyata amandemen sistem Pemerintahan Negara Indonesia yang dilakukan oleh MPR antara 1999-2002 didasarkan pada asumsi yang salah. Para anggota MPR, mengacu pada Risalah Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI, terbitan Sekretariat Negara R.I. yang antara lain menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah sistem presidensial. Asumsi tersebut jelas salah karena para perumus Konstitusi pertama tersebut merancang UUD 1945 berlandaskan pada kaidah dasar negara kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat, serta penyelenggaraan demokrasi sosial-ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial, dan demokrasi perwakilan-permusyawaratan sebagaimana dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945. Bila memang demikian, maka Gerakan Reformasi untuk meluruskan dan memurnikan pelaksanaan UUD 1945 pasti tidak mampu mencapai tujuannya karena UUD baru hasil 4 kali amandemen jelas-jelas telah menyimpang staats fundamentalnorms yang terdapat dalam Pembukaan UUD tersebut, dan lebih-lebih dari faham kekeluargaan atau kelektivisme model Indonesia yang mendasari penyusunan UUD 1945.
Karena itu salah satu agenda pokok bangsa Indonesia ke depan adalah meluruskan kembali UUD 1945 sesuai dengan kaidah fundamentalnya. Pelurusan UUD 1945 tidak mungkin dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 2004 karena MPR yang bi-atau-tri-kameral tersebut bukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat, bukan perwujudan dari seluruh rakyat. Salah satu langkah konstitusional yang dapat ditempuh oleh Pemerintah adalah meminta persetujuan rakyat melalui referendum untuk memurnikan UUD 1945 yang dilakukan oleh suatu Komisi Konstitusi independen yang merupakan representasi dari semua unsur masyarakat Indonesia
Sayangnya pemurnian UUD 1945 tidak mudah dilakukan karena Penjelasan UUD 1945 yang merupakan satu-satunya penejelasan resmi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Lembaran Negara R.I. Nomor …. tahun 1946 dan karena itu merupakan dokumen politik dan hukum konstitusional yang paling penting untuk menafsirkan teks UUD telah dinyatakan tidak berlaku oleh MPR.
Jalan untuk meluruskan sejarah penyusunan UUD Negara Republik Indonesia sebenarnya masih cukup terbuka karena menurut Prof. Maria Farida dari Universitas Indonesia, MPR-RI hanya menetapkan amandemen I sampai IV UUD 1945. Tidak pernah ada ketetapan MPR-RI tentang penulisan dan penggabungan Amandemen I sampai IV dalam satu naskah UUD. Menghapuskan penjelasan resmi UUD 1945 yang dimuat dalam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II Nomor 7. dari sudut pandangan etika akademik jelas suatu perbuatan kurang terpuji karena menghilangkan salah satu sumber penting dan resmi untuk memahami semangat dan pemikiran para penyusun Konstitusi pertama Negara Republik Indonesia. Saya kira hanya bangsa yang bodoh dan dungu yang mau melakukan kesalahan sebesar itu.
Karena tidak ada Ketetapan MPR-RI tentang penulisan yang menggabungkan naskah UUD 1945 dan amandemen-amandemen dalam 1 naskah UUD Negara Republik Indonesia, maka bahan yang disosialisasikan oleh MPR-RI dapat menyesatkan masyarakat kurang memahami. Para pemimpin bangsa harus berani mengakui bahwa naskah UUD Republik Indonesia yang lengkap harusnya terdiri dari: (a) Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang asli; (b) Amandemen I; (c) Amandemen II, (d) Amandemen III; (d) Amandemen IV; dan (e) Penjelasan Resmi UUD 1945 sebagaimana yang diberitakan dalam Lembaran Negara R.I. Tahun 1946 Nomor 17. Kalau langkah itu dilakukan, barulah kita dapat bertepuk dada dan dengan lantang mengatakan „Bangsaku adalah bangsa yang menghargai karya besar para Bapak Bangsa dan Bangsaku adalah bangsa yang memiliki sejarah Bangsa.“ Hanya dengan demikan kita dapat menjadi Bangsa yang Besar. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar