Hari-hari
Ramadhan terus berlalu. Ada
harapan besar untuk dapat melewatinya dengan tenang dan konsentrasi penuh
meraih segala keberkahannya. Jiwa-jiwa yang bergembira menyambut hadirnya
tersebar di mana-mana. Mereka yang berharap mendapat keberkahan ampunan serta
ganjaran yang berlipat banyaknya. Mereka yang saling berlomba menjadikan momen
langka ini sebagai waktu-waktu terbaik yang akan mereka lewati. Mereka yang
mengharapkan sedikitnya pencerahan dan perbaikan kehidupan, sebab saat Ramadhan
tiba, setiap orang tak mau melewatinya sia-sia.
Ramadhan
memang selalu dinanti. Kekuatan magnetnya mendorong setiap jiwa untuk melacak
ke setiap sudut dan celah perhatian-Nya. Menarik-narik setiap raga untuk
bersimpuh dan meluruhkan hati demi ampunan dan taubat kepada-Nya. Setiap
Ramadhan, mesti jadi ajang perlombaan tiap diri untuk menjadi hamba-Nya
terkasih.
Ramadhan
kali ini, tetap saja hangat. Walau kian banyak darah kaum muslimin tertumpah di
luar sana. Walau bau mesiu, amis darah, dan bangkai manusia, kian semerbak
menambah wewangian jiwa-jiwa yang melayang menuju-Nya dengan kesyahidan.
Bukankah tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati? Dan kematian yang
disambut sebab memperjuangkan keimanan, pula pada Ramadhan, adalah momen
terbaik. Ramadhan, semakin hangat.
Tahun
ini, Ramadhan saya lewati dengan tetap beraktivitas seperti biasa. Tak ada
libur awal puasa, seperti kegembiraan anak-anak sekolah yang menyambut libur
awal Ramadhan. Tak ada keringanan waktu, seperti para pelajar yang bubar
sekolah lebih cepat supaya segera sampai di rumah. Berbuka bersama keluarga,
sholat maghrib berjamaah, pergi ke masjid, tarawih, dan melewati malam panjang
sampai sahur dengan ber-munajat sepuas hati. Tidak ada.
Bagaimanapun,
masih ada mereka yang melewati Ramadhan dengan cobaan-cobaan yang lebih berat
dari yang saya rasakan. Tetap beraktivitas? Tentu. Bahkan kian sibuk sampai
lembur dan baru bisa pulang ke rumah setelah isya' bahkan menjelang pukul
sepuluh malam baru sampai di rumah. Pagi, siang, dan sore hari di kantor tak
lepas dari rapat, diskusi, pekerjaan rutin, bahkan sejumlah urusan tender tetap
lancar menghiasi jam kantor tanpa kompromi. Letih. Penat. Cemburu.
Cemburu
kepada mereka yang tetap dapat melewati Ramadhan dengan malam-malam panjang
berkhalwat dengan-Nya, tanpa tertidur kelelahan. Cemburu kepada mereka yang
sebelum fajar tiba sudah bersimpuh dengan khusyu berdoa sampai waktu menahan
segala dimulai, tanpa terlambat pergi ke masjid untuk berjamaah sholat subuh.
Cemburu. Sebab ternyata waktu yang tersisa dari seluruh rutinitas keseharian,
hanya sedikit sekali dibandingkan sekian detik berharga yang seringkali
terlewati tanpa disadari.
"Inilah
jihad kami !" Begitu kata mereka.
Ya.
Jihad. Inilah dia ujian dari-Nya yang kembali menimpa orang-orang yang
senantiasa berikhtiar untuk meraih kebahagiaannya di dunia dan untuk akhirat
nanti. Inilah dia ujian dari-Nya, bagi kita semua, supaya lebih cermat menjaga
kelancaran aktivitas tanpa lengah menguatkan ibadah. Inilah dia jihad, dan
Ramadhan tak akan pernah menunggu. Maka, bersemangatlah!
Bukankah
Rasulullah dan para sahabat pun melewatkan Ramadhan dengan berperang? Bukankah
kemenangan adanya bagi mereka yang berteguh dalam keimanan serta memantapkan
diri ketika ujian-ujian itu datang? Bukankah ganjaran nantinya tak lagi sanggup
kita bayangkan pula kita hitung, sebab begitu besar kenikmatan bagi mereka yang
menegakkan keikhlasan dalam berjuang?
Maka,
berjuanglah dalam Ramadhanmu. Walau tak berhadapan dengan musuh, peluru, atau
mesiu. Walau tak berada di jalan, memanggul senjata, dan berperang. Walau
kewajiban dalam mencari nafkah memaksamu untuk duduk dan bekerja sepanjang hari
dan tak terluang waktu untuk menikmati sepenuhnya bersama orang-orang terkasih.
Walau letih dan lelah merayapimu hingga keesokan hari.
Sebab,
inilah jihadmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar