Sabtu, 05 Januari 2013

Inilah Jihat Kami

Hari-hari Ramadhan terus berlalu. Ada harapan besar untuk dapat melewatinya dengan tenang dan konsentrasi penuh meraih segala keberkahannya. Jiwa-jiwa yang bergembira menyambut hadirnya tersebar di mana-mana. Mereka yang berharap mendapat keberkahan ampunan serta ganjaran yang berlipat banyaknya. Mereka yang saling berlomba menjadikan momen langka ini sebagai waktu-waktu terbaik yang akan mereka lewati. Mereka yang mengharapkan sedikitnya pencerahan dan perbaikan kehidupan, sebab saat Ramadhan tiba, setiap orang tak mau melewatinya sia-sia.
Ramadhan memang selalu dinanti. Kekuatan magnetnya mendorong setiap jiwa untuk melacak ke setiap sudut dan celah perhatian-Nya. Menarik-narik setiap raga untuk bersimpuh dan meluruhkan hati demi ampunan dan taubat kepada-Nya. Setiap Ramadhan, mesti jadi ajang perlombaan tiap diri untuk menjadi hamba-Nya terkasih.
Ramadhan kali ini, tetap saja hangat. Walau kian banyak darah kaum muslimin tertumpah di luar sana. Walau bau mesiu, amis darah, dan bangkai manusia, kian semerbak menambah wewangian jiwa-jiwa yang melayang menuju-Nya dengan kesyahidan. Bukankah tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati? Dan kematian yang disambut sebab memperjuangkan keimanan, pula pada Ramadhan, adalah momen terbaik. Ramadhan, semakin hangat.
Tahun ini, Ramadhan saya lewati dengan tetap beraktivitas seperti biasa. Tak ada libur awal puasa, seperti kegembiraan anak-anak sekolah yang menyambut libur awal Ramadhan. Tak ada keringanan waktu, seperti para pelajar yang bubar sekolah lebih cepat supaya segera sampai di rumah. Berbuka bersama keluarga, sholat maghrib berjamaah, pergi ke masjid, tarawih, dan melewati malam panjang sampai sahur dengan ber-munajat sepuas hati. Tidak ada.
Bagaimanapun, masih ada mereka yang melewati Ramadhan dengan cobaan-cobaan yang lebih berat dari yang saya rasakan. Tetap beraktivitas? Tentu. Bahkan kian sibuk sampai lembur dan baru bisa pulang ke rumah setelah isya' bahkan menjelang pukul sepuluh malam baru sampai di rumah. Pagi, siang, dan sore hari di kantor tak lepas dari rapat, diskusi, pekerjaan rutin, bahkan sejumlah urusan tender tetap lancar menghiasi jam kantor tanpa kompromi. Letih. Penat. Cemburu.
Cemburu kepada mereka yang tetap dapat melewati Ramadhan dengan malam-malam panjang berkhalwat dengan-Nya, tanpa tertidur kelelahan. Cemburu kepada mereka yang sebelum fajar tiba sudah bersimpuh dengan khusyu berdoa sampai waktu menahan segala dimulai, tanpa terlambat pergi ke masjid untuk berjamaah sholat subuh. Cemburu. Sebab ternyata waktu yang tersisa dari seluruh rutinitas keseharian, hanya sedikit sekali dibandingkan sekian detik berharga yang seringkali terlewati tanpa disadari.
"Inilah jihad kami !" Begitu kata mereka.
Ya. Jihad. Inilah dia ujian dari-Nya yang kembali menimpa orang-orang yang senantiasa berikhtiar untuk meraih kebahagiaannya di dunia dan untuk akhirat nanti. Inilah dia ujian dari-Nya, bagi kita semua, supaya lebih cermat menjaga kelancaran aktivitas tanpa lengah menguatkan ibadah. Inilah dia jihad, dan Ramadhan tak akan pernah menunggu. Maka, bersemangatlah!
Bukankah Rasulullah dan para sahabat pun melewatkan Ramadhan dengan berperang? Bukankah kemenangan adanya bagi mereka yang berteguh dalam keimanan serta memantapkan diri ketika ujian-ujian itu datang? Bukankah ganjaran nantinya tak lagi sanggup kita bayangkan pula kita hitung, sebab begitu besar kenikmatan bagi mereka yang menegakkan keikhlasan dalam berjuang?
Maka, berjuanglah dalam Ramadhanmu. Walau tak berhadapan dengan musuh, peluru, atau mesiu. Walau tak berada di jalan, memanggul senjata, dan berperang. Walau kewajiban dalam mencari nafkah memaksamu untuk duduk dan bekerja sepanjang hari dan tak terluang waktu untuk menikmati sepenuhnya bersama orang-orang terkasih. Walau letih dan lelah merayapimu hingga keesokan hari.
Sebab, inilah jihadmu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar