Minggu, 19 Mei 2013

Apakah Pantas berharap surga


Sholat dhuha cuma dua rakaat, qiyamullail (tahajjud) juga hanya dua rakaat, itu pun sambil terkantuk-kantuk. Sholat lima waktu? Sudahlah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek saja agar lekas selesai. Tanpa doa, dan segala macam puji untuk Allah, terlipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu. Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib. Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: "Kalau tidak terlambat" atau "Asal nggak bangun kesiangan". Dengan sholat model begini, apa pantas mengaku ahli ibadah?
Padahal Rasulullah dan para sahabat senantiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki mereka bengkak oleh karena terlalu lama berdiri dalam khusyuknya. Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap Allah Yang Maha Mendengar mau mendengarkan keluh mereka. Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan, kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.
Baca Qur'an sesempatnya, itu pun tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikit pun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka tergetarlah hatinya. Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, itu pun tidak rutin. Kadang lupa, kadang sibuk, kadang malas. Yang begini ngaku beriman?
Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat Allah. Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat Allah yang baru saja dibacanya. Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes air mata. Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa mereka jatuh karena lidah-lidah indah yang melafazkan ayat-ayat Allah dengan pemahaman dan pengamalan tertinggi.
Bersedekah jarang, begitu juga infak. Kalau pun ada, dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesama juga jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti sosial, yah hitung-hitung ikut meramaikan. Sudah lah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum? Kalau sudah seperti ini, apa pantas berharap Kebaikan dan Kasih Allah?
Rasulullah adalah manusia yang paling dirindui, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan semata milik Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan semata teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya. Ia senantiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekali pun. Ia juga mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh, berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.
Setiap hari ribut dengan tetangga. Kalau bukan sebelah kanan, ya tetangga sebelah kiri. Seringkali masalahnya cuma soal sepele dan remeh temeh, tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari, kalau perlu ditambah sumpah tujuh turunan. Waktu demi waktu dihabiskan untuk menggunjingkan aib dan kejelekan saudara sendiri. Detik demi detik dada ini terus jengkel setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapatkan bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini? Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan Allah dan Rasulullah kelak?
Wajah indah Allah dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang beriman yang masuk ke dalam surga Allah kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. Tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai Allah itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudara sendiri?
Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah, sering membuat kesal hati mereka, apalah lagi mendoakan mereka, mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apa pun selain sikap ramah penuh kasih dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah. Orang-orang seperti kita ini, apa pantas berharap surga Allah?
Dari ridha orang tua lah, ridha Allah diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang sejak kecil tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali beliau menyebut nama ibu sebelum kemudian nama Ayah? Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangan lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi mendapatkan kesempatan itu. Ataukah harus menunggu Allah memanggil orang-orang terkasih itu hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka? Jangan tunggu penyesalan.
Astaghfirullaah ... 

Jumat, 17 Mei 2013

Untuk Sayangku PUPUT PUJIWATI


Kau yg terindah dalam hidupku
Walau kita belum pernah ketemu
Namun hadirmu terasa nyata untukku
 Menemani hari-hariku
Kau yang membuat hidupku berwarna
Kau lukis keindahan cinta
Hingga ku tak berdaya
Jatuh dalam pelukanmu cinta
Warna pelangi tak mampu menyaingi
Harum bunga tak terasa di jiwa
Lembut sutra tak sehalus cinta
Semua seakan belum bisa
Menandingi cinta yg ku rasa
Cintamu sungguh mempesona
Membuatku semakin percaya
Kau lah sang pujangga
Yang slalu hadir dalam hayalan
Memberikan keindahan
Ku rasakan kedamaian
Dalam pelukan sang pujaan

Minggu, 12 Mei 2013

Cinta Ini Milikmu Mama


“Farah, bangun… udah azan subuh. Sarapanmu udah mama siapin di meja…” Tradisi ini sudah berlangsung 26 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kini usiaku sudah kepala 3 tapi kebiasaan mama tak pernah berubah. “Mama sayang… ga usah repot-repot ma, aku dan adik-adikku udah dewasa.” pintaku pada mama pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika mama mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya.
Ingin kubalas jasa mama selama ini dengan hasil keringatku. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan. Kenapa mama mudah sekali sedih ? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami mama karena dari sebuah artikel yang kubaca .. orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak … tapi entahlah…. Niatku ingin membahagiakan malah membuat mama sedih. Seperti biasa, mama tidak akan pernah mengatakan apa-apa.
Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya “Ma, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan mama. Apa yang bikin mama sedih ?” Kutatap sudut-sudut mata mama, ada genangan air mata di sana. Terbata-bata mama berkata, “Tiba-tiba mama merasa kalian tidak lagi membutuhkan mama. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Mama tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, mama tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri” Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu .. bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.
Diam-diam aku bermuhasabah… Apa yang telah kupersembahkan untuk mama dalam usiaku sekarang ? Adakah mama bahagia dan bangga pada putera putrinya ? Ketika itu kutanya pada mama. Mama menjawab “Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada mama. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat mama. Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat mama. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.” Lagi-lagi aku hanya bisa berucap “Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada mama. Masih banyak alasan ketika mama menginginkan sesuatu.”
Betapa sabarnya mamaku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan mamaku untuk “cuti” dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu. Tapi tidak! Mamaku seorang yang idealis, menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun. Pukul 3 dinihari mama bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh mama ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi… Ah, maafin kami mama … 18 jam sehari sebagai “pekerja” seakan tak pernah membuat mama lelah.. Sanggupkah aku ya Allah ?
* * *
“Farah… bangun nak, udah azan subuh .. sarapannya udah mama siapin di meja.. “ Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul mama sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan “terimakasih mama, aku beruntung sekali memiliki mama yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan mama… ”. Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan…
Cintaku ini milikmu, Mama… Aku masih sangat membutuhkanmu… Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..
Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat “aku sayang padamu… “, namun Rasulullah menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai karena Allah. Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita … ibu dan ayah walau mereka tak pernah meminta. Percayalah… kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia. Wallaahu a’lam
“Ya Allah,cintai mamaku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan mama .. dan jika saatnya nanti mama Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Titip mamakuuyaaRahman”

Berapakah Nilaimu saudaraku.?


Kita makhluk yang paling mulia yang telah diciptakan oleh Allah SWT, makhluk yang paling kuat karena ternyata dari sekian ratus ribu sel sperma yang berjuang untuk hidup, kita lah pemenangnya. Pernahkah kita berpikir untuk memberikan berapa nilai dari diri kita? Apakah harga diri kita hanya sebatas dunia yang ingin kita kuasai, emas dan perak yang ingin kita miliki?
Padahal jelas – jelas Rasulullah bersabda, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi : “Dunia ini terkutuk, semua yang ada di dalamnya terkutuk, kecuali dzikir kepada Allah, hal-hal yang bersangkutan dzikir, seorang ‘alim dan seorang pelajar.” Dunia dengan emas dan peraknya, kekuasan dan jabatan yang selalu ingin kita kejar, kemewahan dengan rumah megahnya, sama sekali tidak berhak mengalirkan setetes pun air mata kita. Terkadang kita melupakan bahwa dunia ini hanyalah titipan buat kita. Demikian yang dikatakan oleh Labid,
Harta dan keluarga tak lain adalah barang titipan, dan suatu saat barang titipan itu akan dikembalikan
Tapi sekali lagi, terkadang kita benar-benar melupakannya, selalu setiap bergantinya hari yang kita pikirkan hanyalah bagaimana agar bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan apa yang kita perlukan, dan pernahkah kita berpikir, apakah saudara-saudara kita di luar sana membutuhkan bantuan kita hanya untuk sekedar makan hari ini?, pernahkah terbersit sedikit saja dipikiran kita bahwa mereka sebenarnya meminta bantuan kita,hanya saja kita selalu membutakan mata dan menulikan telinga kita untuk mereka?
Lalu, apakah kita juga mengetahui kalau setiap jiwa mukmin itu lebih berharga dari dunia dan seisinya?, Dan pernahkah kita sedikit saja merenung, bahwa semua kekayaan dan kedudukan yang kita miliki bisa menangguhkan bahkan menghambat maut dari kita, dapat menolong kita dari siksa dan azabnya Allah?, Jika kita tahu jawabannya tidak, lalu kenapa kita masih selalu saja menghargai diri kita hanya sebatas harta, emas dan perak?
Demi hidupmu, kekayaan takkan memberi manfaat kepada seorang pun ketika dada sudah tersengal dan sesak (Hatim Ath-Thai)
Pertanyaannya adalah seberapa besarkah nilai kita sebagai seorang manusia yang mulia dan manusia yang terpilih?
Hasan Al-Bashri mengatakan, ”Jangan tentukan harga dirimu kecuali dengan surga. Jiwa orang yang beriman itu mahal, tapi sebagian dari mereka justru menjualnya dengan harga yang murah.”
Sayangnya, hanya sebagian kecil dari kita yang menyadari kalau jiwa kita sebagai makhluk yang beriman sangatlah mahal, atau mungkin kita selalu berpikir kalau harta dan dunia ini lebih berharga dan lebih mahal dari sebuah jiwa yang beriman, sehingga yang sering kita tangisi adalah di saat kita kehilangan uang, kebakaran rumah yang mewah, kehilangan pekerjaan, kita tidak pernah merasa menyesal dan menangis ketika hati kita mulai terasa mati dan jauh dari Allah, tidak pernah ada air mata ketika kita mengingat semua dosa-dosa yang telah kita perbuat, lalu jika sudah seperti ini, apa lagi yang bisa kita harapkan untuk membantu kita di hari akhir nanti?, dan jika ketaatan kepada Rabb sudah tidak ada lagi, maka dapatkah terwujud untuk mendapatkan cinta-Nya dan bertemu dengan-Nya dalam keadaan terbaik?
Subhanallah, ketika menuliskan artikel ini pun, saya berusaha untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada, akankah keinginan untuk memiliki sebuah rumah di syurga-Nya dan engkau menjadi tetangga saya ya saudaraku, dapat terwujud? Insyaallah, Amin 

MAKASIH IBU

Teruntuk mu yang menjadi oase ditengah gurun sahara
Terimakasih untuk kasih sayang yang tak pernah usai kau sajikan dalam bentuk apapun
Teruntuk mu yang menjadi embun disetiap hari
Walau ada spasi yang menjelma jarak di antara kita
Yang membuat kita begitu bersahabat dengan rindu
Dari setiap pejal ayat yang kau ucap
adalah sayap yang akan mendekapkan kita dengan erat
Teruntuk mu yang menjadi patromaks jiwaku
Untuk secangkir rindu yang kau bagi melalu suaramu
Untuk sebentuk perhatian yang tak pernah lepas
Untuk amarah yang kau hilangkan dan terganti dengan senyuman
Aku sangat beruntung..

Terimakasih untuk kerja keras mu demi kehidupan ku

Asal Mula Alam semesta Menurut Al-Qur'an


Asal mula alam semesta digambarkan dalam Al Qur'an pada ayat berikut:
"Dialah pencipta langit dan bumi." (Al Qur'an, 6:101)
Keterangan yang diberikan Al Qur'an ini bersesuaian penuh dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini. Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang tejadi dalam sekejap. Peristiwa ini, yang dikenal dengan "Big Bang", membentuk keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada.
Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara metafisik, terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Qur'an 1.400 tahun lalu.
Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang. Penemuan ini merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan.

Selasa, 07 Mei 2013

Hati lapang menerima kenyataan, tubuh ikhtiar memperbaiki kenyataan


Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin. Allahuma shalli 'ala Muhammad wa'ala aalihi washahbihii ajmai'iin. Saudaraku yang baik. Kemarin telah kita bahas kesiapan menerima apapun yang terjadi, dan bila terjadi sesuatu apapun kita harus ridhlo. Sebab tidak ridhlo juga tetap terjadi.

Orang yang paling menderita dalam hidup ini adalah orang yang paling tidak terampil menerima kenyataan.  Menerima kenyataan itu bukan berarti pasrah. Menerima kenyataan adalah benar-benar aktif kemampuan intelektual, berfikir dan perasaan kita untuk hidup realistis.

Percayalah dongkol atau tidak dongkol tetap demikian. Lebih baik kita nikmati episode hidup ini dengan ridhlo. Sebab tidak ridhlo pun tidak merubah kenyataan. Percayalah orang yang paling realistis terhadap kenyataan, maka, orang itulah yang akan bisa menikmati kehidupan.

 

Ridhlo bukan berarti pasrah. Hati menerima kenyataan, akal dan tubuh ikhtiar untuk memperbaiki kenyataan. Kita ambil contoh semisal sakit gigi.  Kita harus ridhlo, karena tidak ridhlo pun tetap sakit . Lalu kita berikhtiar dengan pergi ke dokter gigi. Namun, sesampainya disana ternyata dokter tidak praktek. Mau dongkol, mau mengeluh, itupun tidak menyelesaikan masalah. Rahasianya adalah ridhlo, sambil kembali ke rumah. Insya Alloh niat sudah menjadi amal,  ikhtiar menjadi amal, ridhlo pun menjadi amal.

 

Tidak pernah rugi orang yang hatinya lapang sambil ikhtiar menyempurnakan di jalan yang diridhoi oleh Alloh. Percayalah, tidak pernah kita menderita kecuali orang-orang yang tidak  menerima kenyataan. Hati lapang menerima kenyataan, tubuh ikhtiar memperbaiki kenyataan. Walallahu a’lam 

Senin, 06 Mei 2013

Bahaya Ria


Dalam sebuah hadis, Rasulullah bercerita, ''Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, 'Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?' Allah menjawab, 'Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani.
Dan, apabila pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu'.'' Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah SWT, dalam agama disebut riya. Sepintas, sifat riya merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal. Sifat riya dapat memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan. Allah SWT berfirman, ''Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.'' (Al-Furqan: 23).
Abu Hurairah RA juga pernah mendengar Rasulullah bersabda, ''Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.'' Begitu dahsyatnya penyakit riya ini, hingga ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, ''Apakah keselamatan itu?'' Jawab Rasulullah, ''Apabila kamu tidak menipu Allah.'' Orang tersebut bertanya lagi, ''Bagaimana menipu Allah itu?
'' Rasulullah menjawab, ''Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu untuk selain Allah.'' Meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di antara kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di hadapan manusia.
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata beliau, ''Orang yang riya itu memiliki tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya ketika dirinya dicela.'' Secara tegas Rasulullah pernah bersabda, ''Takutlah kamu kepada syirik kecil.'' Para shahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil?'' Rasulullah berkata, ''Yaitu sifat riya. Kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat riya, 'pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka'?'' Wallahu a'lam.

Belajar Menerima Kekurangan


Setiap manusia pasti berbeda, baik bentuk fisik, sifat maupun nasibnya, sekalipun yang disebut ‘orang kembar’. Memang, ada yang pintar dan ada yang bodoh, ada yang miskin dan ada yang kaya serta masih banyak lagi. Begitu juga ketika jalan di tempat umum, kita sering menemukan orang yang memiliki paras cantik maupun ganteng, walaupun bentuk wajah cantik dan ganteng itu banyak orang menyebutnya sangat relatif. Selain itu, kita mungkin merasa iri jika melihat orang lain bisa meraih dan memiliki prestasi yang patut dibanggakan pada bidang tertentu, tetapi kita tidak bisa. Apa sebenarnya yang harus kita lakukan dengan semua itu ?

Pada dasarnya, Allah SWT, Sang Pencipta Makhluk, sungguh maha adil. Dia maha mengetahui makna dibalik penciptaan-Nya. Betapa tidak, setiap makhluk yang diciptakannya mempunyai kelebihan dan keistimewaan tersendiri. Namun, mereka jelas menyimpan kekurangan dan kelemahan. Artinya, setiap makhluk tidak ada yang sempurna. Semuanya mengandung sisi posotif dan negatif. Berangkat dari sini, kita sebagai hamba Allah harus selalu bersyukur untuk menerima apa adanya, sesuai yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Belajar menerima kekurangan, baik yang terdapat pada diri sendiri, orang lain ataupun orang yang ada di sekeliling kita, sangatlah tidak mudah. Selama ini, barangkali kita hanya menikmati kelebihan-kelebihan, sementara hati kita tidak pernah bersyukur akan kekurangan yang banyak menyimpan maksud tertentu. Saling mengisi sebagai salah satu fungsi dari ukhuwah (persaudaraan), merupakan faedah dari menerima kekurangan. Artinya, kelebihan yang kita miliki bisa memberikan nilai tambah untuk mengisi kekurangan orang lain dan kekurangan kita bisa diisi dengan kelebihan orang lain. Hal ini menunjukkan, semua manusia sangat membutuhkan oragn lain atau tidak ada menusia yang mampu hidup sendiri, karena hidup ini adalah untuk saling mengisi.

Di samping itu, menghargai orang lain merupakan sebuah pengakuan, bahwa masih banyak orang-orang yang melebihi kita dalam segala hal. Kita bukan manusia yang serba ‘super’. Di atas langit, masih ada langit. Begitulah pepatah mengatakan. Agama mengajarkan, dalam kaitannya dengan harta (kekayaan), lebih utama jika kita melihat orang yang ada di ‘bawah’ kita, daripada mengikuti hawa nafsu untuk mengungguli orang yang lebih.

Mengingat datangnya kematian membuat kita semakin sadar, bahwa semua makhluk akan mengalami kehancuran. Semua yang kita cintai, akan kita tinggalkan. Dengan menyadari keadaan ini, kita tidak diperkenankan untuk berlaku sombong (takabur) maupun angkuh dengan segala kelebihan yang kita miliki. Dengan belajar menerima kekurangan, berarti kita belajar memanusiakan manusia. Akhirnya, kita harus menerima pemberian atau karunia Allah dalam bentuk apa pun dengan lapang dada. Semoga. Wallahu’alam bish-shawab

Minggu, 05 Mei 2013

Rindu Rasul


Suatu saat, ada orang yang ingin sekali bertemu dengan Nabi saw di mimpinya, tetapi keinginannya itu tak pernah terkabul; meskipun ia telah berusaha amat kuat dan keras. Ia meminta nasihat kepada seorang sufi. Sufi itu menjawab, ?Anakku, pada Jumat malam nanti, banyak-banyaklah kau makan ikan asin, tunaikan salatmu, dan langsunglah engkau pergi tidur tanpa minum air setetes pun. Keinginanmu akan terpenuhi.
Orang itu pun melaksanakan anjuran sang sufi. Setelah itu, ia langsung tidur. Sepanjang malam ia bermimpi terus menerus minum air dari puluhan mata air. Ketika pagi menjelang, ia bergegas menemui sufi itu, ?Wahai Maulana, aku tak melihat Nabi dalam mimpiku. Aku begitu kehausan sehingga yang aku impikan hanyalah minum air dari puluhan mata air. Sekarang pun aku masih tersiksa dengan rasa dahaga.
Sang sufi berkata padanya, ?Makan ikan asin telah memberimu dahaga yang begitu menyiksa sehingga sepanjang malam engkau hanya bermimpi tentang air minum. Sekarang kau harus merasakan dahaga yang sama akan Rasul-Nya, barulah engkau boleh memeluk anugerah terindahnya!

Rabu, 01 Mei 2013

Mengikuti Hawa nafsu menuju Setan..!!


Alkisah, hiduplah seorang alim yang sangat tekun beribadah sepanjang waktu. Ia tinggal di pondoknya yang terpencil di tengah hutan. Kerjanya hanya mengabdi kepada Tuhan. Namanya Barshisa. Di zaman itu, negerinya diperintah oleh seorang Raja. Pada suatu hari, permaisuri Raja itu melahirkan seorang bayi perempuan yang amat cantik. Karena khawatir anak perempuannya tersentuh tangan laki-laki, Raja mengirimkan anaknya ke pondok Barshisa.

Barshisa pun memelihara anak itu. Ketika anak itu sampai di masa remaja, kecantikannya tiba pada puncaknya. Iblis datang menggoda sang alim itu. Akhirnya, terjadilah apa yang diharapkan Iblis, putri cantik itu hamil.

Ketika hamilnya mulai tampak, Iblis datang lagi dan berkata kepada orang alim itu, Hai Barshisa, kau adalah seorang zahid. Jika wanita yang kau hamili ini melahirkan, sudah pasti perbuatan hinamu ini akan tersebar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, bunuhlah wanita ini sebelum melahirkan. Lalu katakan kepada Raja bahwa putrinya meninggal karena suatu penyakit. Niscaya semua orang akan mempercayaimu dan sama-sama membenarkanmu. Kemudian kamu dapat menguburkan mayatnya tanpa sepengetahuan orang.

Terpengaruh oleh godaan Iblis dan takut bila aibnya diketahui orang, si alim pun membunuh putri Raja. Ia lalu pergi ke hadapan Raja dan melaporkan kematian putrinya. Raja pun percaya dan memberi izin untuk menguburkannya. Mendapat izin Raja, Barshisa menjadi lega dan ia segera menguburkan mayat putri itu dengan senang hati.

Sebentar kemudian, Iblis datang lagi ke hadapan Raja. Ia memberitahukan segala perbuatan Barshisa kepadanya. Ia berkata, Bongkarlah kuburan putrimu itu, lalu bedah perutnya. Jika di dalamnya kau temukan seorang bayi, maka kata-kataku ini benar. Jika tidak, kau boleh membunuhku.

Raja sangat heran mendengar omongan Iblis itu. Ia lalu menggali kubur dan membedah perut anaknya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati seorang bayi di perut putrinya.
Mengetahui perbuatan sang alim yang amat keji, Raja amat marah. Ia membawa Barshisa ke istana untuk dihukum salib.

Di saat Barshisa terlentang di tiang salib menanti saat-saat kematiannya, Iblis kembali datang ke hadapannya dan berkata, Hai Barshisa, aku dapat menolongmu dan melepaskanmu dari tiang salib ini, asalkan kau bersedia bersujud kepadaku. Karena kau berada di tiang salib, kau cukup tundukkan kepalamu ke arahku.

Demi terbebas dari kematian, sang alim itu pun menurut. Ia menundukkan kepalanya sebagai tanda sujud kepada Iblis.

Setelah itu, Iblis berkata, Aku tak boleh menolongmu. Aku takut kepada Allah seru sekalian alam. Iblis meninggalkannya dalam tiang salib. Matilah orang yang semula alim taat beribadah itu dalam keadaan kafir, menyembah Iblis.