Wahai bunda
hanya Tuhan saja yang dapat membalas jasamu erana Tuhan saja yang tahu
penderitaanmu
(Nasyid dari Nowseeheart)
eramuslim - Saat itu saya
masih empat belas tahun. Untuk pertama kalinya, saya harus berpisah 'jauh'
dengannya, perempuan terbaik yang pernah kenal. Tatkala tangan-tangan itu
melambai, rasa bersalah berdentam-dentam di rongga dada. Ugghhh... kenapa saya
tega meninggalkannya sejauh itu. Belum terbayang, kapan lagi saya akan kembali
bertemu dengannya.
Sebelum perpisahan jarak 'jauh' itu,
jarang sekali bunda enggan memberi izin, bila saya minta izin bepergian. Suatu
ketika, saya pamit untuk pergi camping, mengikuti kemah pramuka
Sabtu-Minggu di dekat gua stalagnit di kampung kami. Untuk pamitan dua hari itu
pun, izinnya didapat dengan alot sekali.
"Hati-hati ya nak... jangan
merusak alam, jangan berbuat macam-macam hati-hati... jangan..."
Berkali-kali nasehat itu
diperdengarkan, risau sekali beliau akan keselamatan puteranya. Padahal,
namanya juga acara anak SD, camping perkemahan Sabtu-Minggu itu di back-up
puluhan guru pembina. Jumlah guru yang menyertai camping hampir sama
banyak dengan jumlah murid, sebagai bukti keseriusan pihak sekolah untuk
menjamin keselamatan kami. Tapi, namanya bunda, ia tetap saja penuh
kekhawatiran pada keselamatan anaknya. Raut wajahnya tampak sangat mencemaskan
puteranya yang berkeras untuk tetap pergi.
***
Tak lama berselang setelah perpisahan
'Sabtu-Minggu' itu, perpisahan 'jauh' benar-benar terjadi. Kali itu bukan camping
di pinggir kecamatan. Tapi saya harus terbang menyeberangi lautan. Untuk
melanjutkan studi ke sekolah dambaan. Tak terbayangkan bagaimana perasaan bunda
melepas bocah kecilnya sejauh itu.
Satu tahun berselang, di sebuah libur
panjang sekolah, saya kembali bertemu bunda. Sejuk wajahnya dan binar
ketulusannya masih sama. Pehatian dan kasih sayangnya pun belum berubah. Cuma mungkin
penampilannya sedikit berubah. Kilau perak mulai terselip di rambutnya.
Sejak saat itu, dengan dalih
cita-cita, berulang kali saya meninggalkanya. Berulang kali beliau harus
membekap kerinduan, memasung rasa kasih pada buah hatinya. Pada saat saya tergelak
tertawa dengan konco sekodan, mungkin bunda sedang tenggelam dalam isak
tangis kerinduannya. Saya sendiri, bukan tidak rindu padanya, warung bubur
kacang ijo gang Masjid mungkin pelampiasan paling manjur, kalau rasa kangen
padanya sedang meradang. Maklum setiap libur sekolah bunda selalu setia menanti
dengan bubur ijo kesukaan puteranya. Jauh hari sebelum puteranya datang,
berkilo-kilo kacang ijo sudah dipesannya untuk putera tersayang, yang belum
jelas tanggal kedatangannya.
Saat melihat ibu-ibu lanjut yang
berjalan sendiri di keramaian pasar, ingin rasanya menyapa mereka, mengajak
bersenda-gurau, sambil berharap bunda juga diperlakukan ramah pula oleh
lingkungannya. Kala menjumpai nenek yang beringsut membawa belanjaannya,
terketuk keinginan untuk menawarkan bantuan, karena terbayang bunda yang
tertatih-tatih dengan bebannya. Jika sudah mengkhayal begini, pertanda
kerinduan padanya telah mengkristal. Cuma doa yang mampu dirangkum saat itu,
semoga Allah Yang Menguasai langit dan bumi, menjaga dan menyayangi bunda.
Bila melihat pertikaian di tengah
kampung kami, berbicang dengan bunda adalah solusi terbaik.
"Jangan pikirkan apa pelakuan
orang yang mendzalimi kita, pikir saja kekhilafan kita, coba memperbaiki diri,
jangan menghiraukan kata-kata sampah yang datang dari kaum jahil,
persekongkolan para pendengki para itu sudah jelas sejak perang Khandaq.
Belajarlah untuk menjadi hamba yang tulus, yang tak terganggu dengan perlakuan
manusia, tapi niat karena-Nya harus benar, jangan pernah berharap pada makhluk."
Plong. Kepala yang tadinya
cekot-cekot sepulang melihat perseteruan di balai desa langsung terobati.
Berbicara tentang ketulusan,
ketulusan seorang ibu mungkin nomor satu. Saat bayi lemah tanpa gelar
kesarjanaan itu lahir, dengan penuh khidmat, kasih sayangnya mengalir lancar
tanpa pamrih. Menabur benih kebaikan kepada makhluk yang 'bukan siapa-siapa'
memang aneh di era kapitalisme ini. Tapi itulah bunda, yang tak melihat apa
yang akan didapatnya dengan membesarkan kami. Memperoleh senyum manis kerabat
saat kenduri tetangga mungkin sudah lumrah, tapi mendapatkan perhatian penuh
kasih bunda saat demam meradang menjelang subuh, itu baru luar biasa.
***
Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu
berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan
bertanya,
"Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan
baik dariku?"
Beliau menjawab, "Ibumu."
Tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau menjawab, "Ibumu."
Tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau menjawab, "Ibumu"
Kemudian tanyanya lagi, "Kemudian siapa?"
Beliau mejawab, "Bapakmu."
(Muttafaq 'alaih).
***
Mu. Abdur Razzaq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar